Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 25 Juni 2014

Mencintai Rasulullah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintaiku lebih dari keluarganya, hartanya dan siapapun juga.” Dalam riwayat lain: “lebih dari anaknya, orangtuanya dan siapapun juga”. (HR. Muslim)

Konsistensi terhadap nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam kehidupan modern dewasa ini benar-benar mengalami goncangan dan ujian yang sangat berat. Revolusi kebebasan serta eksploitasi kehidupan yang bertumpu pada budaya materialistik telah menambah sesaknya nafas keimanan dan penghayatan terhadap nilai-nilai holistik kehidupan yang diajarkan oleh Islam. Akibatnya, cara pandang orang lambat laun bergeser dari nilai-nilai keyakinan yang tertanam melalui pendidikan dan arahan agama yang benar ke arah pandangan liberal yang mengukur kebenaran dengan kacamata kebebasan. Demikian pula orang jadi sering membenturkan nash-nash agama – bahkan yang sharih (sudah jelas) sekalipun- dengan logika akal yang ‘dipaksakan’.


Di sisi lain daya tarik dan pengaruh figur – oleh sebagian masyarakat – tidak lagi secara dominan ditentukan oleh faktor kredibilitas moral dan kapabilitas seseorang, tetapi lebih ditentukan oleh tampilan fisik yang menawan baik ketampanan maupun kecantikan, gaya hidup yang glamor dan ‘wah’ serta hal ‘aneh-aneh’ lainnya. Hal ini diperparah lagi oleh peran media yang sering menampilkan tayangan yang tidak mendidik bahkan cenderung merusak, mengekploitasi pornografi dan kemaksiatan serta mengekspos gaya hidup kalangan tertentu yang disadari atau tidak berdampak buruk terhadap cara pandang dan pembentukan mentalitas – khususnya anak-anak dan remaja – serta merusak masa depan mereka di kemudian hari. Sangat berbahaya!

Disinilah pentingnya menata kembali pola pandang masyarakat kita yang sudah dihempaskan oleh arus kuat modernisasi dan liberalisasi yang tidak sebangun dengan arah, prinsip, dan nilai-nilai agung ajaran Islam. Arus kuat yang semakin memperlebar jarak antara ajaran-ajaran keislaman dan realitas kehidupan sehari-hari!

Kajian hadits kali ini mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan keimanan agar kita memiliki daya tahan yang memadai dalam menghadapi gelombang besar arus kerusakan dan kekufuran dan juga dalam memperjuangkan serta memenangkan Islam di atas kekuatan apapun di dunia ini.

Hadits ini juga menekankan kembali akan keharusan kita menjadikan figur fenomenal dan abadi sepanjang masa yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sebagai sosok yang paling kita utamakan dan kita muliakan. Bagaimanapun juga, kehadiran beliaulah yang telah menyadarkan manusia, membuka mata sejarah, dan menyinari dunia yang gelap dengan Nur Ilahi nan abadi. Karena itu, beliaulah figur yang harus kita teladani dengan sebaik-baiknya, karena hal tersebut juga merupakan salah satu syarat sahnya keimanan seseorang dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hadits ini menjelaskan banyak hal kepada kita.

Pertama, cinta kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah bagian dari kesempurnaan iman dan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah. Ibnu Baththal menjelaskan makna hadits ini dengan ungkapan beliau: “Barangsiapa yang sempurna imannya akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam harus ia utamakan diatas orangtuanya, anaknya maupun siapapun juga karena hanya dengan itulah kita terselamatkan dari api neraka dan mendapatkan hidayah dari kegelapan dan kesesatan hidup”. Demikianlah, rasa cinta kita kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam haruslah mengalahkan rasa cinta kita kepada apapun dan siapapun baik itu harta benda, anak, orangtua maupun yang lainnya.

Lembaran panjang sejarah kehidupan para sahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mush’ab in Umair, Abdullah bin Rawahah dan sederet nama lainnya memperjelas gambaran kongkrit makna dan implementasi kecintaan kepada Rasulullah. Qadhi ‘Iyyadh menjelaskan,“Diantara makna kecintaan kepada Rasulullah adalah memperjuangkan sunnah dan syariatnya, memimpikan kehidupan sepertinya dan mengorbankan seluruh yang dimiliki baik harta maupun jiwa. Hanya dengan itulah kesempurnaan iman akan terwujud.”

Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyepelekan perkara ini, yakni ketika Dia berfirman, ”Katakanlah: ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)

Kedua, kecintaan kepada Rasulullah yang dimaksud dalam konteks hadits ini bukanlah tabiat cinta yang sudah menjadi sifat dasar manusia dan dimiliki oleh setiap orang, tetapi perasaan cinta yang bisa diarahkan, dipupuk dan dioptimalkan menjadi kekuatan perubahan ke arah implementasi nilai-nilai keimanan dan ketaatan. Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, ”Yang dimaksud adalah, belum jujur pernyataan cintamu kepada Rasulullah sampai engkau mau mengalahkan hawa nafsumu dan taat mengikuti perintah beliau, mencintai beliau lebih dari mencintai dirimu sendiri meskipun dengan itu engkau akan menghadapi resiko dan mengalami hal-hal yang tidak engkau inginkan.”

Ibnu Baththal dan Qadhi ‘Iyyadh mengatakan bahwa cinta itu ada tiga macam:
1) mahabatul ijlal wa ’izham, seperti perasaan sayang dan hormat kepada orangtua,
2) mahabbatusy syafaqah war rahmah, seperti perasaan cinta dan sayang kepada anak, dan
3) mahabbatul musyakalah wal istihsan, seperti perasaan sayang dan cinta kepada sesama.
Adapun kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam harus menggabungkan tiga macam cinta ini dalam satu kesatuan yang utuh.

Ketiga, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah figur dan teladan utama dalam semua sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan beliau untuk itu: membimbing dan mengarahkan beliau, memperjelas nasab, sejarah dan perilaku beliau, dan memberikan pujian serta menyerukan penghormatan shalawat kepada beliau. Maka, siapapun yang menginginkan kesempurnaan keimanan dan keislaman harus siap untuk meneladani beliau. Setiap mukmin – apapun profesinya – wajib mengetahui, merenungkan dan meneladani akhlak beliau yang mulia, sehingga kepribadian dirinya akan menjadi lebih sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Keempat, mempelajari Islam dengan baik dan benar, mengamalkan ajarannya, serta mendakwahkan dan menawarkankannya kepada orang lain adalah bagian dari makna kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Himpitan, tekanan dan godaan kehidupan dunia yang menggiurkan akan bisa kita hadapi dan kita atasi dengan kekuatan iman, mengembalikan ukuran hitam putih dan benar salahnya kehidupan ini dengan acuan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, serta meneladani kehidupan Rasulullah dan para salafus shaleh yang bagaikan cahaya bintang gemintang di tengah kehidupan malam yang kelam sebagaimana sabda Rasulullah: “Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang gemintang, dari siapapun kamu mengambil teladan maka kamu akan mendapatkan hidayah.”

Kelima, marilah kita tinggalkan berbagai perilaku yang menyimpang dari Islam. Mari kita katakan ’good bye’ kepada kekufuran, kemaksiatan, kecongkakan, kemalasan, ketidakjujuran, dan sebagainya, agar kita memiliki keunggulan kepribadian dan umat ini akan kembali meraih kejayaan dan kemuliaannya. Mari kita jadikan Rasulullah sebagai teladan kita semua, karena satu-satunya cara untuk meraih kembali kejayaan dan keutamaan umat ini adalah dengan meneladani kehidupan Rasulullah serta mengamalkan ajaran beliau dengan sepenuh hati. Semoga hati dan pendengaran kita semua dibukakan oleh Allah untuk mengatakan ‘sami’na wa atha’na (kami mendengat dan kami taat) terhadap ajaran-ajaran Rasulullah, dan tidak malah mengatakan ‘sami’na wa ‘ashaina’ (kami mendengar tetapi kami ingkar). Amin yaa Rabbal ‘Aalamiin.



Puasa melembutkan Jiwa


Kategori Tulisan

Anak (21) Ceramah (23) Doaku (3) Gallery (68) Hadits (19) Herbal (3) Hikmah (256) I'tikaf (5) Idul Fitri (27) Inspirasi (149) Jualan (3) Kesehatan (43) Keuangan (12) Kisahnyata (43) Kultum (147) Lailatul Qadar (2) Lain-lain (49) management (4) Nisa' (1) ODOJ (2) Progress (54) prowakaf (2) Puasa (182) Quran (17) Qurban (40) Ramadhan (315) Renungan (17) Rumahkreatif (6) Rumahpintar (8) Rumahtahfidz (18) Rumahyatim (6) Sedekah (47) Share (104) Syawal (5) Tanya jawab (2) Tarawih (4) Tarbiyah (166) Umroh (19) Wakaf (8) Yatim (7) Zakat (22)
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!
 

Info Kesehatan

More on this category »

Tarbiyah dan Pendidikan

More on this category »

Inspirasi Hidup

More on this category »

Lain-lain

Image by ageecomputer.com