Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintaiku lebih dari
keluarganya, hartanya dan siapapun juga.” Dalam
riwayat lain: “lebih dari anaknya, orangtuanya dan siapapun juga”. (HR. Muslim)
Konsistensi
terhadap nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam kehidupan modern dewasa ini
benar-benar mengalami goncangan dan ujian yang sangat berat. Revolusi kebebasan
serta eksploitasi kehidupan yang bertumpu pada budaya materialistik telah
menambah sesaknya nafas keimanan dan penghayatan terhadap nilai-nilai holistik
kehidupan yang diajarkan oleh Islam. Akibatnya, cara pandang orang lambat laun
bergeser dari nilai-nilai keyakinan yang tertanam melalui pendidikan dan arahan
agama yang benar ke arah pandangan liberal yang mengukur kebenaran dengan
kacamata kebebasan. Demikian pula orang jadi sering membenturkan nash-nash
agama – bahkan yang sharih (sudah jelas) sekalipun- dengan logika akal yang
‘dipaksakan’.
Di sisi lain daya
tarik dan pengaruh figur – oleh sebagian masyarakat – tidak lagi secara dominan
ditentukan oleh faktor kredibilitas moral dan kapabilitas seseorang, tetapi
lebih ditentukan oleh tampilan fisik yang menawan baik ketampanan maupun
kecantikan, gaya hidup yang glamor dan ‘wah’ serta hal ‘aneh-aneh’ lainnya. Hal
ini diperparah lagi oleh peran media yang sering menampilkan tayangan yang
tidak mendidik bahkan cenderung merusak, mengekploitasi pornografi dan
kemaksiatan serta mengekspos gaya hidup kalangan tertentu yang disadari atau
tidak berdampak buruk terhadap cara pandang dan pembentukan mentalitas –
khususnya anak-anak dan remaja – serta merusak masa depan mereka di kemudian
hari. Sangat berbahaya!
Disinilah
pentingnya menata kembali pola pandang masyarakat kita yang sudah dihempaskan
oleh arus kuat modernisasi dan liberalisasi yang tidak sebangun dengan arah,
prinsip, dan nilai-nilai agung ajaran Islam. Arus kuat yang semakin memperlebar
jarak antara ajaran-ajaran keislaman dan realitas kehidupan sehari-hari!
Kajian hadits kali
ini mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan keimanan agar kita memiliki
daya tahan yang memadai dalam menghadapi gelombang besar arus kerusakan dan
kekufuran dan juga dalam memperjuangkan serta memenangkan Islam di atas
kekuatan apapun di dunia ini.
Hadits ini juga
menekankan kembali akan keharusan kita menjadikan figur fenomenal dan abadi
sepanjang masa yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sebagai sosok yang
paling kita utamakan dan kita muliakan. Bagaimanapun juga, kehadiran beliaulah
yang telah menyadarkan manusia, membuka mata sejarah, dan menyinari dunia yang
gelap dengan Nur Ilahi nan abadi. Karena itu, beliaulah figur yang harus kita
teladani dengan sebaik-baiknya, karena hal tersebut juga merupakan salah satu
syarat sahnya keimanan seseorang dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hadits ini
menjelaskan banyak hal kepada kita.
Pertama, cinta kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
adalah bagian dari kesempurnaan iman dan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah.
Ibnu Baththal menjelaskan makna hadits ini dengan ungkapan beliau: “Barangsiapa
yang sempurna imannya akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
harus ia utamakan diatas orangtuanya, anaknya maupun siapapun juga karena hanya
dengan itulah kita terselamatkan dari api neraka dan mendapatkan hidayah dari
kegelapan dan kesesatan hidup”. Demikianlah, rasa cinta kita kepada Nabi
shallallahu ’alaihi wasallam haruslah mengalahkan rasa cinta kita kepada apapun
dan siapapun baik itu harta benda, anak, orangtua maupun yang lainnya.
Lembaran panjang
sejarah kehidupan para sahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mush’ab in
Umair, Abdullah bin Rawahah dan sederet nama lainnya memperjelas gambaran
kongkrit makna dan implementasi kecintaan kepada Rasulullah. Qadhi ‘Iyyadh
menjelaskan,“Diantara makna kecintaan kepada Rasulullah adalah memperjuangkan
sunnah dan syariatnya, memimpikan kehidupan sepertinya dan mengorbankan seluruh
yang dimiliki baik harta maupun jiwa. Hanya dengan itulah kesempurnaan iman
akan terwujud.”
Sebaliknya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyepelekan perkara ini, yakni ketika
Dia berfirman, ”Katakanlah: ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara
kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian
usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah:
24)
Kedua, kecintaan
kepada Rasulullah yang dimaksud dalam konteks hadits
ini bukanlah tabiat cinta yang sudah menjadi sifat dasar manusia dan dimiliki
oleh setiap orang, tetapi perasaan cinta yang bisa diarahkan, dipupuk dan
dioptimalkan menjadi kekuatan perubahan ke arah implementasi nilai-nilai
keimanan dan ketaatan. Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, ”Yang dimaksud
adalah, belum jujur pernyataan cintamu kepada Rasulullah sampai engkau mau
mengalahkan hawa nafsumu dan taat mengikuti perintah beliau, mencintai beliau
lebih dari mencintai dirimu sendiri meskipun dengan itu engkau akan menghadapi
resiko dan mengalami hal-hal yang tidak engkau inginkan.”
Ibnu Baththal dan
Qadhi ‘Iyyadh mengatakan bahwa cinta itu ada tiga macam:
1) mahabatul ijlal
wa ’izham, seperti perasaan sayang dan hormat kepada orangtua,
2) mahabbatusy
syafaqah war rahmah, seperti perasaan cinta dan sayang kepada anak, dan
3) mahabbatul
musyakalah wal istihsan, seperti perasaan sayang dan cinta kepada sesama.
Adapun kecintaan
kita kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam harus menggabungkan tiga
macam cinta ini dalam satu kesatuan yang utuh.
Ketiga, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah
figur dan teladan utama dalam semua sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mempersiapkan beliau untuk itu: membimbing dan mengarahkan beliau,
memperjelas nasab, sejarah dan perilaku beliau, dan memberikan pujian serta
menyerukan penghormatan shalawat kepada beliau. Maka, siapapun yang
menginginkan kesempurnaan keimanan dan keislaman harus siap untuk meneladani
beliau. Setiap mukmin – apapun profesinya – wajib mengetahui, merenungkan dan meneladani
akhlak beliau yang mulia, sehingga kepribadian dirinya akan menjadi lebih
sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS
Al-Ahzab: 21)
Keempat, mempelajari Islam dengan baik dan benar,
mengamalkan ajarannya, serta mendakwahkan dan menawarkankannya kepada orang
lain adalah bagian dari makna kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam. Himpitan, tekanan dan godaan kehidupan dunia yang menggiurkan akan
bisa kita hadapi dan kita atasi dengan kekuatan iman, mengembalikan ukuran
hitam putih dan benar salahnya kehidupan ini dengan acuan petunjuk Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, serta meneladani kehidupan Rasulullah dan para salafus
shaleh yang bagaikan cahaya bintang gemintang di tengah kehidupan malam yang
kelam sebagaimana sabda Rasulullah: “Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang
gemintang, dari siapapun kamu mengambil teladan maka kamu akan mendapatkan
hidayah.”
Kelima, marilah kita tinggalkan berbagai perilaku yang
menyimpang dari Islam. Mari kita katakan ’good bye’ kepada kekufuran,
kemaksiatan, kecongkakan, kemalasan, ketidakjujuran, dan sebagainya, agar kita
memiliki keunggulan kepribadian dan umat ini akan kembali meraih kejayaan dan
kemuliaannya. Mari kita jadikan Rasulullah sebagai teladan kita semua, karena satu-satunya cara untuk meraih kembali
kejayaan dan keutamaan umat ini adalah dengan meneladani kehidupan Rasulullah
serta mengamalkan ajaran beliau dengan sepenuh hati. Semoga hati dan
pendengaran kita semua dibukakan oleh Allah untuk mengatakan ‘sami’na wa
atha’na (kami mendengat dan kami taat) terhadap ajaran-ajaran Rasulullah, dan
tidak malah mengatakan ‘sami’na wa ‘ashaina’ (kami mendengar tetapi kami
ingkar). Amin yaa Rabbal ‘Aalamiin.