Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 25 Juni 2014

Agama adalah Nasehat




Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallhu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kami (para sahabat) bertanya,”Bagi siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta segenap umat Islam.” (HR. Muslim)

Pada dasarnya manusia senantiasa membutuhkan nasehat serta arahan agar hidupnya lebih baik dari waktu ke waktu. Apalagi, manusia memiliki sifat lemah dan suka lupa. Pepatah arab mengatakan: ”Manusia disebut demikian (insan) karena ia berpotensi lupa (nisyan)”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui akan kelemahan dan kelebihan yang ada pada diri hamba-Nya. Oleh karenanya Allah menurunkan Islam sebagai nasehat bagi siapapun yang menginginkan kebahagiaan yang hakiki. Siapapun yang meyakini, memahami, menjalankan dan berkomitmen pada nilai, ajaran dan nasehat Islam, ia pasti akan menggapai kebahagiaan itu.

Hadits diatas menjelaskan sisi lain dari hakikat Islam yang secara tegas berfungsi sebagai nasehat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kita harus menempatkan Islam sebagai penasehat pertama dan utama kita. Semua tingkah laku dan sikap hidup kita selaku orang yang beriman hendaknya didasarkan kepada syariat dan nasehat Islam. Dalam kehidupan pribadi maupun keluarga, menyangkut masalah sosial, ekonomi, seni, budaya serta hal-hal lainnya, bingkai dan pijakan dasarnya haruslah mengacu pada nilai dan syariat Islam. Dari situlah letak kebaikan dan kualitas hidup akan terlihat. Semakin baik tingkat keyakinan dan semangat kita dalam melaksanakan ajaran serta nasehat Islam, semakin baik pula kualitas dan nilai keimanan kita di hadapan Allah, dan semakin dekat pula tatanan kehidupan indah dan barakah yang kita impikan menjadi kenyataan.

Untuk itu Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menekankan nasehatnya pada lima hal utama.
Pertama, lillahi (untuk Allah). Maksudnya adalah keharusan dan kewajiban kita untuk bertauhid kepada Allah dengan lurus dan benar secara lahir maupun batin. Nilai tauhid inilah yang akan membawa perubahan dalam kehidupan kita ke arah yang diridhai dan diberkahi oleh-Nya.
Kedua, likitabihi (untuk kitab-Nya). Maksudnya, kita harus serius mempelajari dan memahami Al-Qur’an dengan benar, serta berusaha menerapkannya dalam semua sisi kehidupan sehingga terwujudlah irama dan harmoni kehidupan yang indah mempesona serta memikat hati.
Ketiga, lirasulihi (untuk rasul-Nya). Maksudnya, kita diperintahkan untuk meyakini dan menelaah dengan baik contoh nyata kehidupan para nabi, khususnya Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, untuk kemudian kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, lia’immatil muslimin (untuk para pemimpin umat Islam). Para pemimpin umat memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam mengarahkan dan membimbing kehidupan masyarakat. Karena itu mereka haruslah orang yang betul-betul berkualitas, berkapasitas, kredibel, memahami persoalan umat dan mampu menyelesaikannya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Kemudian, jika mereka melakukan kesalahan hendaknya diberi nasehat. Adapun jika mereka berada diatas kebenaran maka hendaknya kita taat dan mendukung mereka.
Kelima, untuk umat Islam seluruhnya. Maksudnya, masyarakat muslim hendaknya memahami hak dan kewajiban mereka untuk saling menasehati satu sama lain.

Integrasi lima hal ini akan melahirkan kesadaran yang tinggi pada diri semua pihak akan hak dan kewajiban masing-masing, hingga terwujudlah kesatuan pemahaman, sikap dan langkah dalam memperbaiki kualitas kehidupan berdasarkan nilai dan nasehat Islam.

Dalam surat Al-’Ashr Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa salah satu karakter orang yang beriman adalah kesediaannya untuk memberi dan menerima nasehat dalam kebenaran maupun kesabaran (watawashau bilhaqqi watawashau bish shabr). Fudhail bin Iyadh berkata,”Kemuliaan yang diraih oleh generasi kami bukanlah karena shalat dan puasa kami, namun karena kemurahan hati, kelapangan dada dan kegemaran memberi nasehat.” Abu Bakar Al-Mazni berkata,”Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi derajatnya daripada sahabat-sahabat yang lain bukanlah puasa ataupun shalatnya. Akan tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya. Yang ada dalam hatinya adalah kecintaan kepada Allah dan nasehat terhadap sesamanya”.

Dalam konteks nasehat, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Pertama, nasihat yang paling baik adalah nasehat yang diberikan ketika seseorang meminta nasihat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,’Jika seseorang meminta nasehat, maka nasehatilah ia.” Kemungkinan besar, seseorang yang meminta nasihat akan merasa lebih siap untuk menerima berbagai macam nasihat yang disampaikan kepadanya.

Kedua, nasehat hendaknya diniatkan untuk perbaikan dan disampaikan dengan penuh keikhlasan. Niat yang tulus dan ikhlas akan merasuk dalam kata-kata yang terucap oleh lidah ketika sebuah nasihat disampaikan. Dalam keadaan ini, seolah-olah sang pemberi nasihat berbicara dari lubuk hatinya, dan berusaha untuk memasuki relung hati orang yang ia beri nasihat. Nasihat yang demikian biasanya lebih mengena di hati orang yang diberi nasihat.

Ketiga, pertimbangkanlah waktu, situasi dan kondisi. Juga, sampaikanlah nasihat dengan cara yang menyejukkan agar nasehat lebih mengena. Nasihat yang sama bisa jadi akan ditangkap dan dipahami berbeda jika disampaikan pada waktu, situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai mencari waktu, situasi dan kondisi yang pas dan kondusif. Demikian pula tata cara kita dalam memberikan nasehat akan sangat berpengaruh pada seberapa jauh nasihat kita bisa diterima. Jika disampaikan dengan cara yang halus dan bahasa yang baik, insyaallah nasihat akan lebih mudah diterima. Berbeda halnya jika sebuah nasihat disampaikan dengan cara yang kasar dan menyakitkan.

Keempat, berikanlah motivasi (dorongan) bukan justifikasi (menghakimi). Jangan sekali-kali kita memberikan nasihat dengan cara menghakimi, karena setiap orang pasti tidak suka dihakimi. Nasihat yang menghakimi bisa-bisa justru menyebabkan orang yang diberi nasihat merasa putus asa dan patah semangat. Atau jika tidak, bisa jadi ia akan resisten pada nasihat yang kita sampaikan.

Kelima, berikanlah alternatif solusi dan jangan malah memperburuk situasi. Orang yang butuh nasihat pada dasarnya memerlukan bantuan. Oleh karena itu, hendaknya kita membantunya dan bukan malah mempersulit keadaannya.

Keenam, nasehat sebisa mungkin disampaikan dengan tidak diketahui oleh orang lain, agar dapat menutupi kekurangan dan aib saudara kita. Jangan sampai kita menasehati seseorang dengan cara menghujat dan memaki-makinya didepan orang banyak.

Ketujuh, dalam kondisi kita yakin bahwa orang yang akan kita nasehati akan menerima dan tidak bereaksi negatif pada nasehat kita, kita wajib memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya orang yang akan kita nasehati justru akan bereaksi negatif bahkan membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini kita bisa memilih untuk menasehati atau tidak.

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita dengan nasehat agama-Nya melalui orang-orang yang ikhlas dalam menyampaikannya. Amin.


Puasa melembutkan Jiwa


Kategori Tulisan

Anak (21) Ceramah (23) Doaku (3) Gallery (68) Hadits (19) Herbal (3) Hikmah (256) I'tikaf (5) Idul Fitri (27) Inspirasi (149) Jualan (3) Kesehatan (43) Keuangan (12) Kisahnyata (43) Kultum (147) Lailatul Qadar (2) Lain-lain (49) management (4) Nisa' (1) ODOJ (2) Progress (54) prowakaf (2) Puasa (182) Quran (17) Qurban (40) Ramadhan (315) Renungan (17) Rumahkreatif (6) Rumahpintar (8) Rumahtahfidz (18) Rumahyatim (6) Sedekah (47) Share (104) Syawal (5) Tanya jawab (2) Tarawih (4) Tarbiyah (166) Umroh (19) Wakaf (8) Yatim (7) Zakat (22)
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!
 

Info Kesehatan

More on this category »

Tarbiyah dan Pendidikan

More on this category »

Inspirasi Hidup

More on this category »

Lain-lain

Image by ageecomputer.com