Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 25 Juni 2014

Mencintai Rasulullah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintaiku lebih dari keluarganya, hartanya dan siapapun juga.” Dalam riwayat lain: “lebih dari anaknya, orangtuanya dan siapapun juga”. (HR. Muslim)

Konsistensi terhadap nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam kehidupan modern dewasa ini benar-benar mengalami goncangan dan ujian yang sangat berat. Revolusi kebebasan serta eksploitasi kehidupan yang bertumpu pada budaya materialistik telah menambah sesaknya nafas keimanan dan penghayatan terhadap nilai-nilai holistik kehidupan yang diajarkan oleh Islam. Akibatnya, cara pandang orang lambat laun bergeser dari nilai-nilai keyakinan yang tertanam melalui pendidikan dan arahan agama yang benar ke arah pandangan liberal yang mengukur kebenaran dengan kacamata kebebasan. Demikian pula orang jadi sering membenturkan nash-nash agama – bahkan yang sharih (sudah jelas) sekalipun- dengan logika akal yang ‘dipaksakan’.


Di sisi lain daya tarik dan pengaruh figur – oleh sebagian masyarakat – tidak lagi secara dominan ditentukan oleh faktor kredibilitas moral dan kapabilitas seseorang, tetapi lebih ditentukan oleh tampilan fisik yang menawan baik ketampanan maupun kecantikan, gaya hidup yang glamor dan ‘wah’ serta hal ‘aneh-aneh’ lainnya. Hal ini diperparah lagi oleh peran media yang sering menampilkan tayangan yang tidak mendidik bahkan cenderung merusak, mengekploitasi pornografi dan kemaksiatan serta mengekspos gaya hidup kalangan tertentu yang disadari atau tidak berdampak buruk terhadap cara pandang dan pembentukan mentalitas – khususnya anak-anak dan remaja – serta merusak masa depan mereka di kemudian hari. Sangat berbahaya!

Disinilah pentingnya menata kembali pola pandang masyarakat kita yang sudah dihempaskan oleh arus kuat modernisasi dan liberalisasi yang tidak sebangun dengan arah, prinsip, dan nilai-nilai agung ajaran Islam. Arus kuat yang semakin memperlebar jarak antara ajaran-ajaran keislaman dan realitas kehidupan sehari-hari!

Kajian hadits kali ini mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan keimanan agar kita memiliki daya tahan yang memadai dalam menghadapi gelombang besar arus kerusakan dan kekufuran dan juga dalam memperjuangkan serta memenangkan Islam di atas kekuatan apapun di dunia ini.

Hadits ini juga menekankan kembali akan keharusan kita menjadikan figur fenomenal dan abadi sepanjang masa yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sebagai sosok yang paling kita utamakan dan kita muliakan. Bagaimanapun juga, kehadiran beliaulah yang telah menyadarkan manusia, membuka mata sejarah, dan menyinari dunia yang gelap dengan Nur Ilahi nan abadi. Karena itu, beliaulah figur yang harus kita teladani dengan sebaik-baiknya, karena hal tersebut juga merupakan salah satu syarat sahnya keimanan seseorang dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hadits ini menjelaskan banyak hal kepada kita.

Pertama, cinta kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah bagian dari kesempurnaan iman dan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah. Ibnu Baththal menjelaskan makna hadits ini dengan ungkapan beliau: “Barangsiapa yang sempurna imannya akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam harus ia utamakan diatas orangtuanya, anaknya maupun siapapun juga karena hanya dengan itulah kita terselamatkan dari api neraka dan mendapatkan hidayah dari kegelapan dan kesesatan hidup”. Demikianlah, rasa cinta kita kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam haruslah mengalahkan rasa cinta kita kepada apapun dan siapapun baik itu harta benda, anak, orangtua maupun yang lainnya.

Lembaran panjang sejarah kehidupan para sahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mush’ab in Umair, Abdullah bin Rawahah dan sederet nama lainnya memperjelas gambaran kongkrit makna dan implementasi kecintaan kepada Rasulullah. Qadhi ‘Iyyadh menjelaskan,“Diantara makna kecintaan kepada Rasulullah adalah memperjuangkan sunnah dan syariatnya, memimpikan kehidupan sepertinya dan mengorbankan seluruh yang dimiliki baik harta maupun jiwa. Hanya dengan itulah kesempurnaan iman akan terwujud.”

Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyepelekan perkara ini, yakni ketika Dia berfirman, ”Katakanlah: ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)

Kedua, kecintaan kepada Rasulullah yang dimaksud dalam konteks hadits ini bukanlah tabiat cinta yang sudah menjadi sifat dasar manusia dan dimiliki oleh setiap orang, tetapi perasaan cinta yang bisa diarahkan, dipupuk dan dioptimalkan menjadi kekuatan perubahan ke arah implementasi nilai-nilai keimanan dan ketaatan. Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, ”Yang dimaksud adalah, belum jujur pernyataan cintamu kepada Rasulullah sampai engkau mau mengalahkan hawa nafsumu dan taat mengikuti perintah beliau, mencintai beliau lebih dari mencintai dirimu sendiri meskipun dengan itu engkau akan menghadapi resiko dan mengalami hal-hal yang tidak engkau inginkan.”

Ibnu Baththal dan Qadhi ‘Iyyadh mengatakan bahwa cinta itu ada tiga macam:
1) mahabatul ijlal wa ’izham, seperti perasaan sayang dan hormat kepada orangtua,
2) mahabbatusy syafaqah war rahmah, seperti perasaan cinta dan sayang kepada anak, dan
3) mahabbatul musyakalah wal istihsan, seperti perasaan sayang dan cinta kepada sesama.
Adapun kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam harus menggabungkan tiga macam cinta ini dalam satu kesatuan yang utuh.

Ketiga, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah figur dan teladan utama dalam semua sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan beliau untuk itu: membimbing dan mengarahkan beliau, memperjelas nasab, sejarah dan perilaku beliau, dan memberikan pujian serta menyerukan penghormatan shalawat kepada beliau. Maka, siapapun yang menginginkan kesempurnaan keimanan dan keislaman harus siap untuk meneladani beliau. Setiap mukmin – apapun profesinya – wajib mengetahui, merenungkan dan meneladani akhlak beliau yang mulia, sehingga kepribadian dirinya akan menjadi lebih sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Keempat, mempelajari Islam dengan baik dan benar, mengamalkan ajarannya, serta mendakwahkan dan menawarkankannya kepada orang lain adalah bagian dari makna kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Himpitan, tekanan dan godaan kehidupan dunia yang menggiurkan akan bisa kita hadapi dan kita atasi dengan kekuatan iman, mengembalikan ukuran hitam putih dan benar salahnya kehidupan ini dengan acuan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, serta meneladani kehidupan Rasulullah dan para salafus shaleh yang bagaikan cahaya bintang gemintang di tengah kehidupan malam yang kelam sebagaimana sabda Rasulullah: “Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang gemintang, dari siapapun kamu mengambil teladan maka kamu akan mendapatkan hidayah.”

Kelima, marilah kita tinggalkan berbagai perilaku yang menyimpang dari Islam. Mari kita katakan ’good bye’ kepada kekufuran, kemaksiatan, kecongkakan, kemalasan, ketidakjujuran, dan sebagainya, agar kita memiliki keunggulan kepribadian dan umat ini akan kembali meraih kejayaan dan kemuliaannya. Mari kita jadikan Rasulullah sebagai teladan kita semua, karena satu-satunya cara untuk meraih kembali kejayaan dan keutamaan umat ini adalah dengan meneladani kehidupan Rasulullah serta mengamalkan ajaran beliau dengan sepenuh hati. Semoga hati dan pendengaran kita semua dibukakan oleh Allah untuk mengatakan ‘sami’na wa atha’na (kami mendengat dan kami taat) terhadap ajaran-ajaran Rasulullah, dan tidak malah mengatakan ‘sami’na wa ‘ashaina’ (kami mendengar tetapi kami ingkar). Amin yaa Rabbal ‘Aalamiin.


Agama adalah Nasehat




Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallhu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kami (para sahabat) bertanya,”Bagi siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta segenap umat Islam.” (HR. Muslim)

Pada dasarnya manusia senantiasa membutuhkan nasehat serta arahan agar hidupnya lebih baik dari waktu ke waktu. Apalagi, manusia memiliki sifat lemah dan suka lupa. Pepatah arab mengatakan: ”Manusia disebut demikian (insan) karena ia berpotensi lupa (nisyan)”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui akan kelemahan dan kelebihan yang ada pada diri hamba-Nya. Oleh karenanya Allah menurunkan Islam sebagai nasehat bagi siapapun yang menginginkan kebahagiaan yang hakiki. Siapapun yang meyakini, memahami, menjalankan dan berkomitmen pada nilai, ajaran dan nasehat Islam, ia pasti akan menggapai kebahagiaan itu.

Hadits diatas menjelaskan sisi lain dari hakikat Islam yang secara tegas berfungsi sebagai nasehat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kita harus menempatkan Islam sebagai penasehat pertama dan utama kita. Semua tingkah laku dan sikap hidup kita selaku orang yang beriman hendaknya didasarkan kepada syariat dan nasehat Islam. Dalam kehidupan pribadi maupun keluarga, menyangkut masalah sosial, ekonomi, seni, budaya serta hal-hal lainnya, bingkai dan pijakan dasarnya haruslah mengacu pada nilai dan syariat Islam. Dari situlah letak kebaikan dan kualitas hidup akan terlihat. Semakin baik tingkat keyakinan dan semangat kita dalam melaksanakan ajaran serta nasehat Islam, semakin baik pula kualitas dan nilai keimanan kita di hadapan Allah, dan semakin dekat pula tatanan kehidupan indah dan barakah yang kita impikan menjadi kenyataan.

Untuk itu Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menekankan nasehatnya pada lima hal utama.
Pertama, lillahi (untuk Allah). Maksudnya adalah keharusan dan kewajiban kita untuk bertauhid kepada Allah dengan lurus dan benar secara lahir maupun batin. Nilai tauhid inilah yang akan membawa perubahan dalam kehidupan kita ke arah yang diridhai dan diberkahi oleh-Nya.
Kedua, likitabihi (untuk kitab-Nya). Maksudnya, kita harus serius mempelajari dan memahami Al-Qur’an dengan benar, serta berusaha menerapkannya dalam semua sisi kehidupan sehingga terwujudlah irama dan harmoni kehidupan yang indah mempesona serta memikat hati.
Ketiga, lirasulihi (untuk rasul-Nya). Maksudnya, kita diperintahkan untuk meyakini dan menelaah dengan baik contoh nyata kehidupan para nabi, khususnya Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, untuk kemudian kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, lia’immatil muslimin (untuk para pemimpin umat Islam). Para pemimpin umat memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam mengarahkan dan membimbing kehidupan masyarakat. Karena itu mereka haruslah orang yang betul-betul berkualitas, berkapasitas, kredibel, memahami persoalan umat dan mampu menyelesaikannya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Kemudian, jika mereka melakukan kesalahan hendaknya diberi nasehat. Adapun jika mereka berada diatas kebenaran maka hendaknya kita taat dan mendukung mereka.
Kelima, untuk umat Islam seluruhnya. Maksudnya, masyarakat muslim hendaknya memahami hak dan kewajiban mereka untuk saling menasehati satu sama lain.

Integrasi lima hal ini akan melahirkan kesadaran yang tinggi pada diri semua pihak akan hak dan kewajiban masing-masing, hingga terwujudlah kesatuan pemahaman, sikap dan langkah dalam memperbaiki kualitas kehidupan berdasarkan nilai dan nasehat Islam.

Dalam surat Al-’Ashr Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa salah satu karakter orang yang beriman adalah kesediaannya untuk memberi dan menerima nasehat dalam kebenaran maupun kesabaran (watawashau bilhaqqi watawashau bish shabr). Fudhail bin Iyadh berkata,”Kemuliaan yang diraih oleh generasi kami bukanlah karena shalat dan puasa kami, namun karena kemurahan hati, kelapangan dada dan kegemaran memberi nasehat.” Abu Bakar Al-Mazni berkata,”Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi derajatnya daripada sahabat-sahabat yang lain bukanlah puasa ataupun shalatnya. Akan tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya. Yang ada dalam hatinya adalah kecintaan kepada Allah dan nasehat terhadap sesamanya”.

Dalam konteks nasehat, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Pertama, nasihat yang paling baik adalah nasehat yang diberikan ketika seseorang meminta nasihat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,’Jika seseorang meminta nasehat, maka nasehatilah ia.” Kemungkinan besar, seseorang yang meminta nasihat akan merasa lebih siap untuk menerima berbagai macam nasihat yang disampaikan kepadanya.

Kedua, nasehat hendaknya diniatkan untuk perbaikan dan disampaikan dengan penuh keikhlasan. Niat yang tulus dan ikhlas akan merasuk dalam kata-kata yang terucap oleh lidah ketika sebuah nasihat disampaikan. Dalam keadaan ini, seolah-olah sang pemberi nasihat berbicara dari lubuk hatinya, dan berusaha untuk memasuki relung hati orang yang ia beri nasihat. Nasihat yang demikian biasanya lebih mengena di hati orang yang diberi nasihat.

Ketiga, pertimbangkanlah waktu, situasi dan kondisi. Juga, sampaikanlah nasihat dengan cara yang menyejukkan agar nasehat lebih mengena. Nasihat yang sama bisa jadi akan ditangkap dan dipahami berbeda jika disampaikan pada waktu, situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai mencari waktu, situasi dan kondisi yang pas dan kondusif. Demikian pula tata cara kita dalam memberikan nasehat akan sangat berpengaruh pada seberapa jauh nasihat kita bisa diterima. Jika disampaikan dengan cara yang halus dan bahasa yang baik, insyaallah nasihat akan lebih mudah diterima. Berbeda halnya jika sebuah nasihat disampaikan dengan cara yang kasar dan menyakitkan.

Keempat, berikanlah motivasi (dorongan) bukan justifikasi (menghakimi). Jangan sekali-kali kita memberikan nasihat dengan cara menghakimi, karena setiap orang pasti tidak suka dihakimi. Nasihat yang menghakimi bisa-bisa justru menyebabkan orang yang diberi nasihat merasa putus asa dan patah semangat. Atau jika tidak, bisa jadi ia akan resisten pada nasihat yang kita sampaikan.

Kelima, berikanlah alternatif solusi dan jangan malah memperburuk situasi. Orang yang butuh nasihat pada dasarnya memerlukan bantuan. Oleh karena itu, hendaknya kita membantunya dan bukan malah mempersulit keadaannya.

Keenam, nasehat sebisa mungkin disampaikan dengan tidak diketahui oleh orang lain, agar dapat menutupi kekurangan dan aib saudara kita. Jangan sampai kita menasehati seseorang dengan cara menghujat dan memaki-makinya didepan orang banyak.

Ketujuh, dalam kondisi kita yakin bahwa orang yang akan kita nasehati akan menerima dan tidak bereaksi negatif pada nasehat kita, kita wajib memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya orang yang akan kita nasehati justru akan bereaksi negatif bahkan membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini kita bisa memilih untuk menasehati atau tidak.

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita dengan nasehat agama-Nya melalui orang-orang yang ikhlas dalam menyampaikannya. Amin.

Jangan Terlena dan Jangan Menunda




Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah Saw pernah memegang bahuku sambil bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara’. Ibnu Umar berkata, ‘Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu. (HR. Bukhari)

Imam Nawawi menyebutkan hadits ini dalam rangkaian hadits Arba’in, karena menyimpan makna dan pesan yang sangat penting, utamanya bagi seorang muslim. Pesan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu Umar ra ini bukanlah termasuk nasihat khusus, tetapi merupakan pesan umum yang berlaku bagi siapapun dan seyogyanya kita pahami sebagai arahan dan petunjuk yang akan meningkatkan kualitas dan produktivitas hidup kita.

Jika kita perhatikan dengan baik hadits diatas, kita mendapati beberapa poin mendasar sebagai prinsip hidup dan pesan moral bagaimana mestinya seorang muslim memberdayakan diri dan waktunya.

“Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara.” Perumpamaan ini sangatlah tepat. Kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir dari perjalanan hidup karena perjalanan hidup yang sesungguhnya baru akan berakhir di terminal akhirat. Perjalanan hidup di dunia penuh dengan lika-liku, tantangan dan rintangan yang besar kecilnya dan berat tidaknya bergantung kepada kesiapan dan kemampuan seseorang menghadapinya. Sudah selazimnya kita mempersiapkan diri dengan bekal yang dibutuhkan berdasarkan pemahaman yang benar akan tabiat dan karakter perjalanan hidup ini. Harapannya, sebagaimana orang asing yang sedang menempuh perjalanan panjang, bilamana menjumpai persoalan atau mengalami kesulitan maka kita akan mampu mengatasinya dengan baik. Bekal yang paling penting dalam hal ini adalah bekal iman dan taqwa kita kepada Allah yang karenanya kita dapat menghimpun modal amal saleh sebanyak-banyaknya.

Perumpamaan yang disampaikan oleh Nabi ini juga menganjurkan kita untuk hidup dengan zuhud di dunia ini. Artinya, jangan sampai kita tergantung dan terikat dengan dunia, karena tidak selamanya kita berada di dunia ini. Sebagaimana orang asing, hendaknya kita tidak terlalu disibukkan dengan urusan dunia sehingga lupa akhirat. Dan sebagaimana pengembara yang tidak akan membawa beban berat yang bisa menyusahkan perjalanannya, demikian pula hendaknya kita mengambil yang secukupnya saja dari kenikmatan-kenikmatan dunia sehingga kita tidak akan berat untuk meninggalkan dunia dan isinya ketika Allah menetapkan ajal kita.

Dengan sabdanya ini, Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu panjang angan-angan. Tentu yang dimaksud adalah angan-angan keduniaan. Kita harus sadar bahwa ajal yang misterius akan memutus panjangnya angan-angan kita. Dalam riwayat Bukhari, Anas ra berkata, ”Nabi membuat garis seraya bersabda, ’Ini manusia, ini angan-angannya, sedangkan ini ajalnya. Ketika dia sedang berada dalam angan-angan, tiba-tiba datanglah kepadanya garisnya yang paling dekat.’ Maksud dari ’garisnya yang paling dekat’ adalah ajal kematiannya.

“Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya waktu sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu.” Ini adalah ungkapan yang penuh makna dari Ibnu Umar. Sungguh waktu dan usia kehidupan dunia sangatlah pendek. Oleh karena itu Ibnu Umar menasihati kita agar bersegera dalam beramal dan tidak suka menunda-nunda hingga tanpa sadar ajal tiba-tiba menjemput kita. Kalau ajal sudah menjemput sementara kita belum sempat beramal kebajikan karena selalu kita tunda-tunda di dunia, maka kita akan menyesal tanpa guna di akhirat. Kita akan merengek-rengek kepada Allah agar kita dikembalikan ke dunia ini lagi sehingga kita bisa beramal. Akan tetapi ketika itu mustahil seseorang akan dikembalikan lagi ke dunia.

Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan setiap detik dalam kehidupan kita di dunia ini dengan amal-amal kebaikan. Kita harus bersemangat untuk beramal yang sebanyak-banyaknya di dunia ini. Sangat tidak tepat jika yang justru dominan dalam diri kita adalah sifat malas, hura-hura, suka kemaksiatan dan hal-hal lain yang tidak produktif serta tidak memberi nilai kemanfaatan apapun untuk masa depan kehidupan kita. Terlebih lagi di era dimana roda kehidupan berputar sangat cepat, penuh dengan trik dan intrik negatif, godaan kehidupan serta budaya materialisme dan hedonisme yang semakin menggiurkan. Semua itu sangat berpotensi melalaikan seseorang dari tujuan hidupnya yang hakiki.

Rasulullah saw bersabda, ”Diantara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak memberi manfaat kepadanya.” (HR Tirmidzi). Seorang muslim ideal adalah yang sikap hidupnya berorientasi pada nilai produktivitas dan efektivitas. Dia bukan tipe orang yang malas bekerja, suka berhura-hura, suka berfoya-foya, begadang semalaman tanpa tujuan, kongko-kongko di pinggir jalan, bersenang-senang menghabiskan uang, berbuat sesukanya tanpa larangan, dan seterusnya.

Kita harus memanfaatkan setiap kesempatan dalam hidup ini untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Kesempatan adalah sesuatu yang tidak selamanya ada. Seseorang tidak akan selalu dalam keadaan sehat maupun lapang, gembira dan meraih kesuksesan. Sesekali bahkan seringkali ia harus mengalami kegundahan, kegagalan, kekurangan dan hal-hal lain yang tidak ia harapkan. Itulah gambaran kehidupan dunia. Selanjutnya tinggal bagaimana sikap kita. Pada saat sehat segeralah melaksanakan hak dan kewajiban. Kita harus beribadah, berkarya dan bekerja sebaik mungkin, berpikir dan berbuat untuk kebaikan diri dan orang lain. Kita juga harus menjaga kesehatan kita dengan mengkonsumsi makanan yang baik, berolahraga dan cara-cara lain yang makruf. Ini kita lakukan agar Allah memberikan kesehatan yang langgeng kepada kita sehingga kita bisa beramal lebih banyak.

Ungkapan Ibnu Umar diatas juga mengingatkan kita untuk tidak membiasakan diri menunda-nunda pekerjaan. Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada waktu sore, janganlah kita menundanya hingga esok pagi. Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada pagi hari, jangan pula kita menundanya hingga sore hari. Setiap waktu memiliki tuntutan dan haknya masing-masing. Jika kita menunda suatu pekerjaan hingga nanti, maka kita akan mendapati pada waktu nanti itu pekerjaan akan bertumpuk: pekerjaan saat itu dan pekerjaan yang tadinya kita tunda. Jika demikian, apakah kita masih mau menunda sebuah pekerjaan?


Puasa melembutkan Jiwa


Kategori Tulisan

Anak (21) Ceramah (23) Doaku (3) Gallery (68) Hadits (19) Herbal (3) Hikmah (256) I'tikaf (5) Idul Fitri (27) Inspirasi (149) Jualan (3) Kesehatan (43) Keuangan (12) Kisahnyata (43) Kultum (147) Lailatul Qadar (2) Lain-lain (49) management (4) Nisa' (1) ODOJ (2) Progress (54) prowakaf (2) Puasa (182) Quran (17) Qurban (40) Ramadhan (315) Renungan (17) Rumahkreatif (6) Rumahpintar (8) Rumahtahfidz (18) Rumahyatim (6) Sedekah (47) Share (104) Syawal (5) Tanya jawab (2) Tarawih (4) Tarbiyah (166) Umroh (19) Wakaf (8) Yatim (7) Zakat (22)
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!
 

Info Kesehatan

More on this category »

Tarbiyah dan Pendidikan

More on this category »

Inspirasi Hidup

More on this category »

Lain-lain

Image by ageecomputer.com