Kamis, 26 Juni 2014
Rabu, 25 Juni 2014
Mencintai Rasulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintaiku lebih dari
keluarganya, hartanya dan siapapun juga.” Dalam
riwayat lain: “lebih dari anaknya, orangtuanya dan siapapun juga”. (HR. Muslim)
Konsistensi
terhadap nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam kehidupan modern dewasa ini
benar-benar mengalami goncangan dan ujian yang sangat berat. Revolusi kebebasan
serta eksploitasi kehidupan yang bertumpu pada budaya materialistik telah
menambah sesaknya nafas keimanan dan penghayatan terhadap nilai-nilai holistik
kehidupan yang diajarkan oleh Islam. Akibatnya, cara pandang orang lambat laun
bergeser dari nilai-nilai keyakinan yang tertanam melalui pendidikan dan arahan
agama yang benar ke arah pandangan liberal yang mengukur kebenaran dengan
kacamata kebebasan. Demikian pula orang jadi sering membenturkan nash-nash
agama – bahkan yang sharih (sudah jelas) sekalipun- dengan logika akal yang
‘dipaksakan’.
Di sisi lain daya tarik dan pengaruh figur – oleh sebagian masyarakat – tidak lagi secara dominan ditentukan oleh faktor kredibilitas moral dan kapabilitas seseorang, tetapi lebih ditentukan oleh tampilan fisik yang menawan baik ketampanan maupun kecantikan, gaya hidup yang glamor dan ‘wah’ serta hal ‘aneh-aneh’ lainnya. Hal ini diperparah lagi oleh peran media yang sering menampilkan tayangan yang tidak mendidik bahkan cenderung merusak, mengekploitasi pornografi dan kemaksiatan serta mengekspos gaya hidup kalangan tertentu yang disadari atau tidak berdampak buruk terhadap cara pandang dan pembentukan mentalitas – khususnya anak-anak dan remaja – serta merusak masa depan mereka di kemudian hari. Sangat berbahaya!
Disinilah
pentingnya menata kembali pola pandang masyarakat kita yang sudah dihempaskan
oleh arus kuat modernisasi dan liberalisasi yang tidak sebangun dengan arah,
prinsip, dan nilai-nilai agung ajaran Islam. Arus kuat yang semakin memperlebar
jarak antara ajaran-ajaran keislaman dan realitas kehidupan sehari-hari!
Kajian hadits kali
ini mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan keimanan agar kita memiliki
daya tahan yang memadai dalam menghadapi gelombang besar arus kerusakan dan
kekufuran dan juga dalam memperjuangkan serta memenangkan Islam di atas
kekuatan apapun di dunia ini.
Hadits ini juga
menekankan kembali akan keharusan kita menjadikan figur fenomenal dan abadi
sepanjang masa yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sebagai sosok yang
paling kita utamakan dan kita muliakan. Bagaimanapun juga, kehadiran beliaulah
yang telah menyadarkan manusia, membuka mata sejarah, dan menyinari dunia yang
gelap dengan Nur Ilahi nan abadi. Karena itu, beliaulah figur yang harus kita
teladani dengan sebaik-baiknya, karena hal tersebut juga merupakan salah satu
syarat sahnya keimanan seseorang dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hadits ini
menjelaskan banyak hal kepada kita.
Pertama, cinta kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
adalah bagian dari kesempurnaan iman dan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah.
Ibnu Baththal menjelaskan makna hadits ini dengan ungkapan beliau: “Barangsiapa
yang sempurna imannya akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
harus ia utamakan diatas orangtuanya, anaknya maupun siapapun juga karena hanya
dengan itulah kita terselamatkan dari api neraka dan mendapatkan hidayah dari
kegelapan dan kesesatan hidup”. Demikianlah, rasa cinta kita kepada Nabi
shallallahu ’alaihi wasallam haruslah mengalahkan rasa cinta kita kepada apapun
dan siapapun baik itu harta benda, anak, orangtua maupun yang lainnya.
Lembaran panjang
sejarah kehidupan para sahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mush’ab in
Umair, Abdullah bin Rawahah dan sederet nama lainnya memperjelas gambaran
kongkrit makna dan implementasi kecintaan kepada Rasulullah. Qadhi ‘Iyyadh
menjelaskan,“Diantara makna kecintaan kepada Rasulullah adalah memperjuangkan
sunnah dan syariatnya, memimpikan kehidupan sepertinya dan mengorbankan seluruh
yang dimiliki baik harta maupun jiwa. Hanya dengan itulah kesempurnaan iman
akan terwujud.”
Sebaliknya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyepelekan perkara ini, yakni ketika
Dia berfirman, ”Katakanlah: ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara
kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian
usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah:
24)
Kedua, kecintaan
kepada Rasulullah yang dimaksud dalam konteks hadits
ini bukanlah tabiat cinta yang sudah menjadi sifat dasar manusia dan dimiliki
oleh setiap orang, tetapi perasaan cinta yang bisa diarahkan, dipupuk dan
dioptimalkan menjadi kekuatan perubahan ke arah implementasi nilai-nilai
keimanan dan ketaatan. Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, ”Yang dimaksud
adalah, belum jujur pernyataan cintamu kepada Rasulullah sampai engkau mau
mengalahkan hawa nafsumu dan taat mengikuti perintah beliau, mencintai beliau
lebih dari mencintai dirimu sendiri meskipun dengan itu engkau akan menghadapi
resiko dan mengalami hal-hal yang tidak engkau inginkan.”
Ibnu Baththal dan
Qadhi ‘Iyyadh mengatakan bahwa cinta itu ada tiga macam:
1) mahabatul ijlal
wa ’izham, seperti perasaan sayang dan hormat kepada orangtua,
2) mahabbatusy
syafaqah war rahmah, seperti perasaan cinta dan sayang kepada anak, dan
3) mahabbatul
musyakalah wal istihsan, seperti perasaan sayang dan cinta kepada sesama.
Adapun kecintaan
kita kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam harus menggabungkan tiga
macam cinta ini dalam satu kesatuan yang utuh.
Ketiga, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah
figur dan teladan utama dalam semua sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mempersiapkan beliau untuk itu: membimbing dan mengarahkan beliau,
memperjelas nasab, sejarah dan perilaku beliau, dan memberikan pujian serta
menyerukan penghormatan shalawat kepada beliau. Maka, siapapun yang
menginginkan kesempurnaan keimanan dan keislaman harus siap untuk meneladani
beliau. Setiap mukmin – apapun profesinya – wajib mengetahui, merenungkan dan meneladani
akhlak beliau yang mulia, sehingga kepribadian dirinya akan menjadi lebih
sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS
Al-Ahzab: 21)
Keempat, mempelajari Islam dengan baik dan benar,
mengamalkan ajarannya, serta mendakwahkan dan menawarkankannya kepada orang
lain adalah bagian dari makna kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam. Himpitan, tekanan dan godaan kehidupan dunia yang menggiurkan akan
bisa kita hadapi dan kita atasi dengan kekuatan iman, mengembalikan ukuran
hitam putih dan benar salahnya kehidupan ini dengan acuan petunjuk Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, serta meneladani kehidupan Rasulullah dan para salafus
shaleh yang bagaikan cahaya bintang gemintang di tengah kehidupan malam yang
kelam sebagaimana sabda Rasulullah: “Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang
gemintang, dari siapapun kamu mengambil teladan maka kamu akan mendapatkan
hidayah.”
Kelima, marilah kita tinggalkan berbagai perilaku yang
menyimpang dari Islam. Mari kita katakan ’good bye’ kepada kekufuran,
kemaksiatan, kecongkakan, kemalasan, ketidakjujuran, dan sebagainya, agar kita
memiliki keunggulan kepribadian dan umat ini akan kembali meraih kejayaan dan
kemuliaannya. Mari kita jadikan Rasulullah sebagai teladan kita semua, karena satu-satunya cara untuk meraih kembali
kejayaan dan keutamaan umat ini adalah dengan meneladani kehidupan Rasulullah
serta mengamalkan ajaran beliau dengan sepenuh hati. Semoga hati dan
pendengaran kita semua dibukakan oleh Allah untuk mengatakan ‘sami’na wa
atha’na (kami mendengat dan kami taat) terhadap ajaran-ajaran Rasulullah, dan
tidak malah mengatakan ‘sami’na wa ‘ashaina’ (kami mendengar tetapi kami
ingkar). Amin yaa Rabbal ‘Aalamiin.
Sumber : http://ikadijatim.org/mencintai-rasulullah/
Image : http://elephantsrememberlove.com/wp-content/uploads/2014/04/brokenheart-quotes.jpg
Image : http://elephantsrememberlove.com/wp-content/uploads/2014/04/brokenheart-quotes.jpg
Agama adalah Nasehat
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallhu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kami (para sahabat) bertanya,”Bagi siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta segenap umat Islam.” (HR. Muslim)
Pada dasarnya manusia
senantiasa membutuhkan nasehat serta arahan agar hidupnya lebih baik dari waktu
ke waktu. Apalagi, manusia memiliki sifat lemah dan suka lupa. Pepatah arab
mengatakan: ”Manusia disebut demikian (insan) karena ia berpotensi lupa
(nisyan)”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Mengetahui akan kelemahan dan kelebihan yang ada pada diri hamba-Nya. Oleh
karenanya Allah menurunkan Islam sebagai nasehat bagi siapapun yang
menginginkan kebahagiaan yang hakiki. Siapapun yang meyakini, memahami,
menjalankan dan berkomitmen pada nilai, ajaran dan nasehat Islam, ia pasti akan
menggapai kebahagiaan itu.
Hadits diatas menjelaskan sisi
lain dari hakikat Islam yang secara tegas berfungsi sebagai nasehat. Nabi
shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Agama adalah nasehat.” Kita harus
menempatkan Islam sebagai penasehat pertama dan utama kita. Semua tingkah laku
dan sikap hidup kita selaku orang yang beriman hendaknya didasarkan kepada
syariat dan nasehat Islam. Dalam kehidupan pribadi maupun keluarga, menyangkut
masalah sosial, ekonomi, seni, budaya serta hal-hal lainnya, bingkai dan
pijakan dasarnya haruslah mengacu pada nilai dan syariat Islam. Dari situlah
letak kebaikan dan kualitas hidup akan terlihat. Semakin baik tingkat keyakinan
dan semangat kita dalam melaksanakan ajaran serta nasehat Islam, semakin baik
pula kualitas dan nilai keimanan kita di hadapan Allah, dan semakin dekat pula
tatanan kehidupan indah dan barakah yang kita impikan menjadi kenyataan.
Untuk itu Nabi shallallahu
’alaihi wasallam menekankan nasehatnya pada lima hal utama.
Pertama, lillahi (untuk Allah). Maksudnya adalah
keharusan dan kewajiban kita untuk bertauhid kepada Allah dengan lurus dan
benar secara lahir maupun batin. Nilai tauhid inilah yang akan membawa
perubahan dalam kehidupan kita ke arah yang diridhai dan diberkahi oleh-Nya.
Kedua, likitabihi (untuk kitab-Nya). Maksudnya, kita harus serius mempelajari
dan memahami Al-Qur’an dengan benar, serta berusaha menerapkannya dalam semua
sisi kehidupan sehingga terwujudlah irama dan harmoni kehidupan yang indah
mempesona serta memikat hati.
Ketiga, lirasulihi (untuk rasul-Nya). Maksudnya, kita diperintahkan untuk
meyakini dan menelaah dengan baik contoh nyata kehidupan para nabi, khususnya
Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, untuk kemudian kita wujudkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, lia’immatil muslimin (untuk para pemimpin umat
Islam). Para pemimpin umat memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam
mengarahkan dan membimbing kehidupan masyarakat. Karena itu mereka haruslah
orang yang betul-betul berkualitas, berkapasitas, kredibel, memahami persoalan
umat dan mampu menyelesaikannya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Kemudian, jika mereka melakukan kesalahan hendaknya diberi nasehat. Adapun jika
mereka berada diatas kebenaran maka hendaknya kita taat dan mendukung mereka.
Kelima, untuk umat Islam seluruhnya. Maksudnya, masyarakat muslim
hendaknya memahami hak dan kewajiban mereka untuk saling menasehati satu sama
lain.
Integrasi lima hal ini akan melahirkan
kesadaran yang tinggi pada diri semua pihak akan hak dan kewajiban
masing-masing, hingga terwujudlah kesatuan pemahaman, sikap dan langkah dalam
memperbaiki kualitas kehidupan berdasarkan nilai dan nasehat Islam.
Dalam surat Al-’Ashr Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa salah satu karakter orang yang beriman
adalah kesediaannya untuk memberi dan menerima nasehat dalam kebenaran maupun
kesabaran (watawashau bilhaqqi watawashau bish shabr). Fudhail bin Iyadh
berkata,”Kemuliaan yang diraih oleh generasi kami bukanlah karena shalat dan
puasa kami, namun karena kemurahan hati, kelapangan dada dan kegemaran memberi
nasehat.” Abu Bakar Al-Mazni berkata,”Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi
derajatnya daripada sahabat-sahabat yang lain bukanlah puasa ataupun shalatnya.
Akan tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya. Yang ada dalam hatinya
adalah kecintaan kepada Allah dan nasehat terhadap sesamanya”.
Dalam konteks nasehat, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
Pertama, nasihat yang paling baik adalah nasehat yang
diberikan ketika seseorang meminta nasihat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
bersabda,’Jika seseorang meminta nasehat, maka nasehatilah ia.” Kemungkinan
besar, seseorang yang meminta nasihat akan merasa lebih siap untuk menerima
berbagai macam nasihat yang disampaikan kepadanya.
Kedua, nasehat hendaknya diniatkan untuk perbaikan dan disampaikan dengan
penuh keikhlasan. Niat yang tulus dan ikhlas akan merasuk dalam kata-kata yang
terucap oleh lidah ketika sebuah nasihat disampaikan. Dalam keadaan ini,
seolah-olah sang pemberi nasihat berbicara dari lubuk hatinya, dan berusaha
untuk memasuki relung hati orang yang ia beri nasihat. Nasihat yang demikian
biasanya lebih mengena di hati orang yang diberi nasihat.
Ketiga, pertimbangkanlah waktu, situasi dan kondisi. Juga, sampaikanlah
nasihat dengan cara yang menyejukkan agar nasehat lebih mengena. Nasihat yang
sama bisa jadi akan ditangkap dan dipahami berbeda jika disampaikan pada waktu,
situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai
mencari waktu, situasi dan kondisi yang pas dan kondusif. Demikian pula tata
cara kita dalam memberikan nasehat akan sangat berpengaruh pada seberapa jauh
nasihat kita bisa diterima. Jika disampaikan dengan cara yang halus dan bahasa
yang baik, insyaallah nasihat akan lebih mudah diterima. Berbeda halnya jika
sebuah nasihat disampaikan dengan cara yang kasar dan menyakitkan.
Keempat, berikanlah motivasi (dorongan) bukan
justifikasi (menghakimi). Jangan sekali-kali kita memberikan nasihat dengan
cara menghakimi, karena setiap orang pasti tidak suka dihakimi. Nasihat yang
menghakimi bisa-bisa justru menyebabkan orang yang diberi nasihat merasa putus
asa dan patah semangat. Atau jika tidak, bisa jadi ia akan resisten pada
nasihat yang kita sampaikan.
Kelima, berikanlah alternatif solusi dan jangan malah memperburuk situasi.
Orang yang butuh nasihat pada dasarnya memerlukan bantuan. Oleh karena itu,
hendaknya kita membantunya dan bukan malah mempersulit keadaannya.
Keenam, nasehat sebisa mungkin disampaikan dengan tidak diketahui oleh orang
lain, agar dapat menutupi kekurangan dan aib saudara kita. Jangan sampai kita
menasehati seseorang dengan cara menghujat dan memaki-makinya didepan orang
banyak.
Ketujuh, dalam kondisi kita yakin bahwa orang yang akan
kita nasehati akan menerima dan tidak bereaksi negatif pada nasehat kita, kita
wajib memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya orang yang akan kita nasehati
justru akan bereaksi negatif bahkan membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini kita
bisa memilih untuk menasehati atau tidak.
Mudah-mudahan Allah selalu
membimbing kita dengan nasehat agama-Nya melalui orang-orang yang ikhlas dalam
menyampaikannya. Amin.
Jangan Terlena dan Jangan Menunda
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah Saw pernah memegang bahuku sambil bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara’. Ibnu Umar berkata, ‘Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu. (HR. Bukhari)
Imam Nawawi menyebutkan hadits
ini dalam rangkaian hadits Arba’in, karena menyimpan makna dan pesan yang
sangat penting, utamanya bagi seorang muslim. Pesan Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam kepada Ibnu Umar ra ini bukanlah termasuk nasihat khusus,
tetapi merupakan pesan umum yang berlaku bagi siapapun dan seyogyanya kita
pahami sebagai arahan dan petunjuk yang akan meningkatkan kualitas dan
produktivitas hidup kita.
Jika kita perhatikan dengan
baik hadits diatas, kita mendapati beberapa poin mendasar sebagai prinsip hidup
dan pesan moral bagaimana mestinya seorang muslim memberdayakan diri dan
waktunya.
“Jadilah engkau di dunia
seolah-olah orang asing atau pengembara.” Perumpamaan
ini sangatlah tepat. Kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir dari perjalanan
hidup karena perjalanan hidup yang sesungguhnya baru akan berakhir di terminal
akhirat. Perjalanan hidup di dunia penuh dengan lika-liku, tantangan dan
rintangan yang besar kecilnya dan berat tidaknya bergantung kepada kesiapan dan
kemampuan seseorang menghadapinya. Sudah selazimnya kita mempersiapkan diri
dengan bekal yang dibutuhkan berdasarkan pemahaman yang benar akan tabiat dan
karakter perjalanan hidup ini. Harapannya, sebagaimana orang asing yang sedang
menempuh perjalanan panjang, bilamana menjumpai persoalan atau mengalami
kesulitan maka kita akan mampu mengatasinya dengan baik. Bekal yang paling
penting dalam hal ini adalah bekal iman dan taqwa kita kepada Allah yang
karenanya kita dapat menghimpun modal amal saleh sebanyak-banyaknya.
Perumpamaan yang disampaikan
oleh Nabi ini juga menganjurkan kita untuk hidup dengan zuhud di dunia ini.
Artinya, jangan sampai kita tergantung dan terikat dengan dunia, karena tidak
selamanya kita berada di dunia ini. Sebagaimana orang asing, hendaknya kita
tidak terlalu disibukkan dengan urusan dunia sehingga lupa akhirat. Dan
sebagaimana pengembara yang tidak akan membawa beban berat yang bisa
menyusahkan perjalanannya, demikian pula hendaknya kita mengambil yang
secukupnya saja dari kenikmatan-kenikmatan dunia sehingga kita tidak akan berat
untuk meninggalkan dunia dan isinya ketika Allah menetapkan ajal kita.
Dengan sabdanya ini, Nabi juga
mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu panjang angan-angan. Tentu yang
dimaksud adalah angan-angan keduniaan. Kita harus sadar bahwa ajal yang
misterius akan memutus panjangnya angan-angan kita. Dalam riwayat Bukhari, Anas
ra berkata, ”Nabi membuat garis seraya bersabda, ’Ini manusia, ini angan-angannya,
sedangkan ini ajalnya. Ketika dia sedang berada dalam angan-angan, tiba-tiba
datanglah kepadanya garisnya yang paling dekat.’ Maksud dari ’garisnya yang
paling dekat’ adalah ajal kematiannya.
“Kalau datang waktu sore
jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore.
Gunakan sebaik-baiknya waktu sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk
waktu matimu.” Ini adalah ungkapan yang penuh makna dari Ibnu Umar. Sungguh waktu
dan usia kehidupan dunia sangatlah pendek. Oleh karena itu Ibnu Umar menasihati
kita agar bersegera dalam beramal dan tidak suka menunda-nunda hingga tanpa
sadar ajal tiba-tiba menjemput kita. Kalau ajal sudah menjemput sementara kita
belum sempat beramal kebajikan karena selalu kita tunda-tunda di dunia, maka
kita akan menyesal tanpa guna di akhirat. Kita akan merengek-rengek kepada
Allah agar kita dikembalikan ke dunia ini lagi sehingga kita bisa beramal. Akan
tetapi ketika itu mustahil seseorang akan dikembalikan lagi ke dunia.
Oleh karena itu, kita harus
memanfaatkan setiap detik dalam kehidupan kita di dunia ini dengan amal-amal
kebaikan. Kita harus bersemangat untuk beramal yang sebanyak-banyaknya di dunia
ini. Sangat tidak tepat jika yang justru dominan dalam diri kita adalah sifat
malas, hura-hura, suka kemaksiatan dan hal-hal lain yang tidak produktif serta
tidak memberi nilai kemanfaatan apapun untuk masa depan kehidupan kita.
Terlebih lagi di era dimana roda kehidupan berputar sangat cepat, penuh dengan
trik dan intrik negatif, godaan kehidupan serta budaya materialisme dan
hedonisme yang semakin menggiurkan. Semua itu sangat berpotensi melalaikan
seseorang dari tujuan hidupnya yang hakiki.
Rasulullah saw bersabda,
”Diantara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika ia mampu meninggalkan hal-hal
yang tidak memberi manfaat kepadanya.” (HR Tirmidzi). Seorang muslim ideal
adalah yang sikap hidupnya berorientasi pada nilai produktivitas dan
efektivitas. Dia bukan tipe orang yang malas bekerja, suka berhura-hura, suka
berfoya-foya, begadang semalaman tanpa tujuan, kongko-kongko di pinggir jalan,
bersenang-senang menghabiskan uang, berbuat sesukanya tanpa larangan, dan
seterusnya.
Kita harus memanfaatkan setiap
kesempatan dalam hidup ini untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.
Kesempatan adalah sesuatu yang tidak selamanya ada. Seseorang tidak akan selalu
dalam keadaan sehat maupun lapang, gembira dan meraih kesuksesan. Sesekali
bahkan seringkali ia harus mengalami kegundahan, kegagalan, kekurangan dan
hal-hal lain yang tidak ia harapkan. Itulah gambaran kehidupan dunia.
Selanjutnya tinggal bagaimana sikap kita. Pada saat sehat segeralah
melaksanakan hak dan kewajiban. Kita harus beribadah, berkarya dan bekerja
sebaik mungkin, berpikir dan berbuat untuk kebaikan diri dan orang lain. Kita
juga harus menjaga kesehatan kita dengan mengkonsumsi makanan yang baik,
berolahraga dan cara-cara lain yang makruf. Ini kita lakukan agar Allah
memberikan kesehatan yang langgeng kepada kita sehingga kita bisa beramal lebih
banyak.
Ungkapan Ibnu Umar diatas juga
mengingatkan kita untuk tidak membiasakan diri menunda-nunda pekerjaan. Jika
suatu pekerjaan bisa dilakukan pada waktu sore, janganlah kita menundanya
hingga esok pagi. Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada pagi hari, jangan
pula kita menundanya hingga sore hari. Setiap waktu memiliki tuntutan dan
haknya masing-masing. Jika kita menunda suatu pekerjaan hingga nanti, maka kita
akan mendapati pada waktu nanti itu pekerjaan akan bertumpuk: pekerjaan saat
itu dan pekerjaan yang tadinya kita tunda. Jika demikian, apakah kita masih mau
menunda sebuah pekerjaan?
Langganan:
Postingan (Atom)
MADU-HERBAL HARGA GROSIR
Kategori Tulisan
Anak
(21)
Ceramah
(23)
Doaku
(3)
Gallery
(68)
Hadits
(19)
Herbal
(3)
Hikmah
(256)
I'tikaf
(5)
Idul Fitri
(27)
Inspirasi
(149)
Jualan
(3)
Kesehatan
(43)
Keuangan
(12)
Kisahnyata
(43)
Kultum
(147)
Lailatul Qadar
(2)
Lain-lain
(49)
management
(4)
Nisa'
(1)
ODOJ
(2)
Progress
(54)
prowakaf
(2)
Puasa
(182)
Quran
(17)
Qurban
(40)
Ramadhan
(315)
Renungan
(17)
Rumahkreatif
(6)
Rumahpintar
(8)
Rumahtahfidz
(18)
Rumahyatim
(6)
Sedekah
(47)
Share
(104)
Syawal
(5)
Tanya jawab
(2)
Tarawih
(4)
Tarbiyah
(166)
Umroh
(19)
Wakaf
(8)
Yatim
(7)
Zakat
(22)
Sering dibaca
- Obat Kanker yang 10.000X Lebih Kuat dari KemoTerapi
- Daftar Tempat Makan Di Madiun
- Apa Arti Kata "Dancuk"...
- Kisah Nyata : Hati-hati Ajarkan Motor-Mobil Pada Anak di Bawah Umur
- Sahabat Kita Yang Baik Akan Menolong Kita Di Akhirat
- 10 Amal yang Pahalanya Takkan Pernah Putus
- Kepada Donatur : Kisah Nyata - Kesalahan Kecil yang Dahsyat Akibatnya
- Kadal dan Sedekah
- Kepada Donatur : Mengintip Akheratmu Dengan Melihat Kehidupan Duniamu
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!