Minggu, 01 April 2018
Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Puasa
Wanita Hamil dan Menyusui - Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Kami
membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa
di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak
wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt
berfirman:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183).
Ada dua
pendapat ulama tentang tafsir ayat ini;
pendapat pertama mengatakan
bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk
melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang
tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang
miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama.
Kemudian
hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi
yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang
miskin, berdasarkan firman Allah Swt: “Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang
me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para
ulama kecuali Imam Ahmad.
Dari
Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun,
sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat
setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
pendapat kedua mengatakan
bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak
berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya.
Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan
berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia.
Bagi orang
yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan
bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah
saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena
semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu
melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak
berpuasa dan wajib membayar fidyah.
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan
tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan
puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak
berpuasa”.
Sebagian
ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para
pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat
seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada
orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus.
Demikian
juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan
berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka
tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun
mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan
wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena
mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah
saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka
disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183).
Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang
yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu
berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah
memberi makan satu orang miskin untuk satu hari.
Wanita
hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa
dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan olehal-Bazzar
dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil,
“Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak
wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni.
Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya
tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak
berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang
miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”.
Dalam
hadits disebutkan:
“Sesungguhnya
Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah
kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi
wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam,
Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan
dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya
atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut
Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa
kewajiban qadha’.
Menurut
Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang
dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau
yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui
wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail
al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab
dinyatakan:
Menurut
Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa
dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu
dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh
berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak
wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda
dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika
puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat
parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak
berpuasa.
Menurut
Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan
mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan
anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’
ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika
mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi
seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa
membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib
melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan
mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja,
atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’
pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja,
maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat
Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’
dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali
membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i
mewajibkan berbuka.
Dalam salah
satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita
menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup:
hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri
berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang
shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw,
Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam
sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang
dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan
lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang
disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan
al-Ka’bi”.
Puasa
Wanita Hamil dan Menyusui - Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Kami
membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa
di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak
wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt
berfirman:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183).
Ada dua
pendapat ulama tentang tafsir ayat ini;
pendapat pertama mengatakan
bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk
melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang
tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang
miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama.
Kemudian
hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi
yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang
miskin, berdasarkan firman Allah Swt: “Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang
me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para
ulama kecuali Imam Ahmad.
Dari
Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun,
sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat
setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
pendapat kedua mengatakan
bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak
berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya.
Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan
berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia.
Bagi orang
yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan
bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah
saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena
semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu
melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak
berpuasa dan wajib membayar fidyah.
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan
tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan
puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak
berpuasa”.
Sebagian
ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para
pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat
seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada
orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus.
Demikian
juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan
berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka
tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun
mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan
wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena
mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah
saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka
disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183).
Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang
yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu
berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah
memberi makan satu orang miskin untuk satu hari.
Wanita
hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa
dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan olehal-Bazzar
dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil,
“Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak
wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni.
Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya
tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak
berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang
miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”.
Dalam
hadits disebutkan:
“Sesungguhnya
Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah
kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi
wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam,
Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan
dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya
atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut
Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa
kewajiban qadha’.
Menurut
Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang
dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau
yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui
wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail
al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab
dinyatakan:
Menurut
Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa
dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu
dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh
berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak
wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda
dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika
puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat
parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak
berpuasa.
Menurut
Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan
mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan
anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’
ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika
mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi
seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa
membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib
melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan
mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja,
atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’
pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja,
maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat
Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’
dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali
membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i
mewajibkan berbuka.
Dalam salah
satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita
menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup:
hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri
berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang
shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw,
Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam
sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang
dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan
lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang
disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan
al-Ka’bi”.
MADU-HERBAL HARGA GROSIR
Kategori Tulisan
Anak
(21)
Ceramah
(25)
Doaku
(3)
Gallery
(68)
Hadits
(20)
Herbal
(3)
Hikmah
(258)
I'tikaf
(5)
Idul Fitri
(27)
Inspirasi
(149)
Jualan
(3)
Kesehatan
(43)
Keuangan
(12)
Kisahnyata
(43)
Kultum
(147)
Lailatul Qadar
(2)
Lain-lain
(49)
management
(4)
Nisa'
(1)
ODOJ
(2)
Progress
(54)
prowakaf
(2)
Puasa
(182)
Quran
(17)
Qurban
(40)
Ramadhan
(322)
Renungan
(17)
Rumahkreatif
(6)
Rumahpintar
(8)
Rumahtahfidz
(18)
Rumahyatim
(6)
Sedekah
(47)
Share
(104)
Syawal
(5)
Tanya jawab
(2)
Tarawih
(4)
Tarbiyah
(166)
Umroh
(19)
Wakaf
(8)
Yatim
(7)
Zakat
(22)
Sering dibaca
- Obat Kanker yang 10.000X Lebih Kuat dari KemoTerapi
- Daftar Tempat Makan Di Madiun
- Apa Arti Kata "Dancuk"...
- Kisah Nyata : Hati-hati Ajarkan Motor-Mobil Pada Anak di Bawah Umur
- Sahabat Kita Yang Baik Akan Menolong Kita Di Akhirat
- 10 Amal yang Pahalanya Takkan Pernah Putus
- Kepada Donatur : Kisah Nyata - Kesalahan Kecil yang Dahsyat Akibatnya
- Kadal dan Sedekah
- Kepada Donatur : Mengintip Akheratmu Dengan Melihat Kehidupan Duniamu
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!