Tanggal 5 Nopember 2013 umat Islam memasuki
Tahun baru Hijriyah 1435 H. Beberapa hari lagi kita akan mengakhiri tahun 2013
M. Detik-detik pergantian tahun selalu menjadi pusat perhatian hampir seluruh
umat manusia. Sudah menjadi hal yang lumrah bila malam pergantian tahun selalu
meriah dengan acara yang semarak. Semaraknya malam pergantian tahun bahkan
telah melalaikan manusia akan makna waktu dan lalai terhadap mengingat Allah.
Tetapi kita juga jumpai segelintir hamba Allah yang dengan penuh harap dan
takut berhitung diri (muhasabah) agar mendapatkan keberkahan dengan makin
berkurangnya usia di dunia.
Pergantian tahun merupakan salah satu ukuran
pergantian waktu yang tak dapat dielakkan. Waktu yang sudah bergerak tak dapat
ditahan dan diundurkan lagi. Setiap ruangan waktu memilki kejadiannya sendiri.
Dalam waktu terkandung jejak perjalanan manusia yang akan diputar ulang kelak
di hadapan pencipta waktu, Allah SWT.
Banyak manusia yang dengan waktunya
memperoleh kejayaan dan tidak sedikit yang merasa waktu yang dimilikinya sebagai
duri yang terus menusuk jiwanya. Orang yang memperoleh kejayaan adalah orang
yang menggunakan waktunya dengan melakukan amal sebanyak dan sebaik mungkin.
Detik, menit, jam dan hari yang dimiliki orang sukses adalah jejak ikhtiar yang
menjadi investasi kejayaannya. Sedangkan bagi manusia yang menderita adalah
mereka yang waktu-waktunya dilewatkan dengan melalaikan potensi dan momen yang
dimilikinya. Banyak nikmat yang tidak disyukuri dan banyak momen yang terlewat
sehingga mereka tidak mendapat apa-apa dari waktu yang dimilikinya.
Sejarah Tahun Baru
Perayaan tahun baru adalah hari libur tertua
sepanjang sejarah. Tahun baru pertama dirayakan di Babilonia kuno sekitar 4000
tahun yang lalu. Sekitar tahun 2000 SM, Tahun baru Babilonia dimulai pada bulan
baru (tepatnya pada bulan sabit pertama terlihat) setelah “Vernal Equinox”
(hari pertama musim semi).
Awal musim semi adalah saat yang tepat
merayakan tahun baru. Disamping semua itu, saat itu merupakan saatnya
“kelahiran kembali”, saat tumbuhnya pepohonan dan tanaman. Tanggal 1 Januari,
di lain sisi, tidak memiliki arti astronomi maupun pertanian. Jadi bagi mereka
tidaklah masuk akal untuk merayakan tahun baru pada hari itu. Tahun baru
babilonia berlangsung selama 11 hari. Tiap hari memiliki jenis perayaan yang
berbeda dan unik.
Setelah bangsa Babilonia, kemudian bangsa
Romawi kemudian menetapkan tahun baru pada bulan Maret, tapi kemudia
perhitungan kalender mereka tercampur aduk dengan kelender dari
kerajaan-kerajaan lain sehingga kemudia kalender tersebut tidak sejalan dengan
pergerakan matahari.
Tahun Baru Islam
Di ajaran Islam, permulaan Tahun Baru Islam
ditetapkan sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar setelah
bermusyawarah dengan sahabat Nabi SAW lainnya menetapkan Tahun Baru Islam
dimulai tanggal 1 Muharram. Tanggal 1 Muharram pada Kalender Hijriyah merupakan
tonggak bersejaran dimana Nabi Muhammad SAW beserta Sahabat dan pengikutnya
melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Sejak peristiwa Hijrah inilah Islam
mengalami perkembangan pesat dan penyebarannya meluas ke luar Jazirah Arab.
Pada Kalender Hijriyah yang memakai
perhitungan peredaran bulan, terkandung hitungan penentuan peribadahan kaum
muslimin seperti penentuan 1 Muharram, Bulan Ramadlan, Idul Fitri, Pelaksanaan
Haji, Idul Adha, Puasa sunnah. Selain itu sejarah Rasulullah dan Shahabat dalam
Sirah Nabawiyah tercatat dengan tepat dalam hitungan Kalender Hijriyah.
Hakikat Waktu
Pergantian tahun mengingatkan kita bahwa
jatah hidup kita di dunia ini semakin berkurang. Seorang ulama besar, Imam
Hasan Al-Basri, mengatakan, ”Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari
hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu.” Dengan
makna seperti itu, seharusnyalah kalau pergantian tahun justru mesti kita
manfaatkan untuk mengevaluasi (muhasabah) diri. Allah SWT berfirman,
”Wahai orang-orang
beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah disiapkan untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang
kalian kerjakan.” (QS 59: 18).
Khalifah Umar bin Khathab menyatakan, ”Hitunglah diri kalian sebelum kalian
dihitung. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang. Bersiaplah untuk
menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada
diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi.”
Rasulullah SAW bersabda, ”Tidaklah melangkah kaki seorang anak
Adam di hari kiamat sebelum ditanyakan kepadanya empat perkara: tentang umurnya
untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa digunakan, tentang
hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dihabiskan, dan tentang ilmunya untuk
apa dimanfaatkan.” (HR Tirmidzi).
Terkait dengan usia itu, Rasulullah SAW
menjelaskan, ‘‘Sebaik-baik
manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, sedangkan
seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya tetapi buruk amal
perbuatannya.” (HR Tirmidzi).
Al Quran juga menuntun kita agar tidak merugi
ditelan waktu. Hanya orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasehati
dalam mentaati kebenaran dan menetapi kesabaranlah yang akan menikmati
keberuntungan. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Ashr/103:1-3
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Hikmah Tahun Baru Islam
Dengan mengingat hakikat waktu, seorang
muslim diharapkan semakin hati-hati memanfaatkan waktu yang tersedia. Tahun
baru yang merupakan bagian dari waktu perlu direnungi untuk mendapatkan
pelajaran (ibrah) dalam rangka meningkatkan pemahaman dan amal. Beberapa hikmah
yang dapat dipetik dari peristiwa pergantian Tahun Masehi sebagai berikut :
1. Senantiasa Mengingat
waktu.
Pergantian tahun baru pada hakikatnya adalah
mengingatkan manusia tentang pentingnya waktu. Imam Syahid Hasan Al-Banna
berkata, ”Siapa yang mengetahui arti waktu berarti mengetahui arti kehidupan.
Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri.”
Dengan begitu, orang-orang yang selalu
menyia-nyiakan waktu dan umurnya adalah orang yang tidak memahami arti hidup.
Ulama kharismatik, Dr Yusuf Qardhawi, dalam kitab Al-Waqtu fi Hayatil Muslim
menjelaskan tentang tiga ciri waktu. Pertama, waktu itu cepat berlalunya. Kedua,
waktu yang berlalu tidak akan mungkin kembali lagi. Dan ketiga, waktu itu
adalah harta yang paling mahal bagi orang beriman.
2. Memahami Pentingnya
Peningkatan Diri
Orang yang sukses senantiasa mengingat dan
memperhitungkan apakan hari ini telah dilewati dengan mendapatkan prestasi yang
lebih baik dari kemarin atau tidak. Dengan demikian seorang muslim akan terus
meningkatkan diri untuk terus menambah keberuntungan hidupnya agar tidak
tertipu waktu apalagi celaka.
Semoga kita termasuk golongan orang yang
sukses yaitu amal hari ini lebih baik dari hari kemarin. Semoga kita terhindar
menjadi oarnag yang tertipu waktu dan celaka karena amal yang dikerjakan hari
ini sama saja bahkan lebih buruk dari hari kemarin.
3. Merefleksikan Makna
Hijrah dalam Kehidupan Sehari-hari
Hijrah berarti berpindah atau meninggalkan.
Dalam makna ini, hijrah memiliki dua bentuk. Hijrah Makaniyah (fisik) dan
Hijrah Ma’nawiyah. Hijrah makaniyah (hakiki) adalah berpindah secara fisik,
dari satu tempat ke tempat lain. Adapun hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan
dalam firman Allah swt.
“Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku
senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”Al-Ankabut:26.
“Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
Al-Muddatsir:5
Bentuk-bentuk hijrah maknawiyah di antaranya
Meninggalkan kebiasaan mengacuhkan karunia Allah menjadi hamba yang pandai
bersyukur. Berpindah dari kehidupan jauh dari tuntunan agama kearah kehidupan
yang relijius dan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan,
menjadi konsisten atau istiqomah. Berpindah dari cara-cara haram dalam
menggapai tujuan ke arah cara-cara jujur dan halal.
Hijrah juga berarti berkomitmen kuat memegang
pinsip kebenaran dan keadilan dan meninggalkan kebatilan dan kezhaliman.
Meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup sehat dan
produkif. Meninggalkan perbuatan buruk dan dosa menuju taat dan berbuat baik
hanya kepada Allah swt.
Hijrah juga serius meninggalkan kedengkian,
menjauhi korupsi, tidak saling menjatuhkan sesama orang berima dan enggan
saling menghujat. Hijrah juga mermaknai meninggalkan kesia-siaan, merubah
kebiasaan hidup menjadi beban, dan tidak mau hidup dalam kebohongan.
Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan
Imam Bukhari: “Barangsiapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia
(untuk memperoleh keuntungan duniawi) dan untuk menikahi wanita maka hijrah itu
untuk apa yang diniatkan nya.”
Wallahu’a’lam.