Kondisinya yang payah membuatnya diberikan kelonggaran untuk boleh tidak berpuasa. Tapi ada aturan main yang cukup ketat harus diperhatikan.
Hamil dan menyusui adalah dua kondisi berat yang dialami hampir semua wanita. Dalam rentang waktu sembilan bulan mengandung janin, pun mengkondisikan jiwa dan raga untuk calon buah hatinya, energi sang ibu begitu tersita. Saat persalinan berhasil pun, ia tak lantas bisa bebas beistirahat. Dua tahun kedepan, ia harus menyusui si bayi; rentang waktu yang cukup menguras tenaga dan pikirannya untuk merawat dan membesarkan anak tercinta.
Untuk kesukaran tersebut, Islam memberikan keringanan hukum dalam ranah puasa. Pasalnya, kewajiban menahan makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam itu membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang prima. Sementara vitalitas ibu hamil dan menyusui acapkali menyusut. Maka jangankan untuk menahan lapar dan dahaga selama 10 jam, kisaran waktu 2-3 jam saja tubuhnya sudah bergetar hebat.
Dalam hal inilah kewajiban berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui agak berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Kesukaran yang mereka hadapi diibaratkan orang yang sakit ditengah ketidakberdayaanya melawan penyakit. Sebab itu, wanita hamil dan menyusui diberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa.
”Diwajibkan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan seorang miskin.” (QS. Al- Baqarah : 185).
Sedang hadist Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah nilai shalat dari para musafir serta memberikan kemurahan bagi wanita hamil dan menyusui. Demi Allah. Rasulullah telah mengatakan keduanya, salah satu atau keduanya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi).
Namun, dispensasi (keringanan) tersebut 'diberikan' bukan Cuma-Cuma. Keputusan meninggalkan puasa tersebut harus ada alasan yang kuat; yakni uzur. Uzur disini jelas merupakan ketidaksanggupan (tidak kuatnya) mereka menjalani puasa.. Dalam beberapa kasus mereka bahkan ambruk lantaran kondisinya yang kurang stabil untuk berpuasa.
Uzur tersebut pun, menurut DR Wahbah az-Zuhaily, salah seorang syekh besar Al- Azhar, Mesir, merupakan kekhawatiran yang bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan, timbulnya suatu penyakit yang didasarkan pada analisa dokter muslim yang andal, adil, dan dapat dipercaya.
Bagaimana jika sebalilknya? Apakah wanita hamil dan menyusui tidak boleh berpuasa? Tentu, hukumnya kembali ke asal, yakni wajib. Sepanjang mereka tidak merasa berat, yakin sanggup menjalani serta tidak sampai membahayakan kondisi kesehatan diri dan janinnya.
Toh, tidak sedikit wanita hamil dan menyusui yang kuat menunaikan puasa sebulan penuh. Stimulus ibadah puasa seakan menjadi vitamin ekstra bagi mereka. Sebab dua kewajiban ibadah berisi nilai pahala tak terhingga merupakan kesempatan langka. Ramadhan datang setahun sekali, pun wanita hamil dan menyusui yang umumnya datang lebih jarang lagi. Sebuah karunia pahala hanya khusus dimiliki kaum muslimah.
Kendati demikian, pada tahap selanjutnya, wanita hamil dan menyusui pun harus mengerti benar koridor-koridor hukum dalam ranah puasa yang diberikan kemurahan tersebut. Sebab, bila mereka memang tidak berpuasa karena uzur, mereka dihadapkan pada dua hal; qadha (mengganti puasa dilain waktu setelah Ramadhan) dan membayar fidyah.
ANTARA QADHA DAN FIDYAH
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang secara garis besar terbagi menjadi empat pandangan :
Keduanya (wanita hamil maupun menyusui) harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi , Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Dalilnya adalah mengqiyaskan wanita hamildan menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa, dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain, sebagaimana jelas dalam Al- Qur'an surah Al- Baqarah ayat 184 dan 185. Pendapat ini disokong oleh ulama asal Mekkah, Syekh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin. Menurutnya penjelasan tentang membayar fidayah bagi yang meningglakan puasa karena uzur tidak ada dalam Al- Qur'an maupun Sunnah (Hadist)
Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa'id bin Jubair, serta Qatadah. Dalilnya adalah fatwa dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi mazhab yang menganggap bahwa fatwa sahabat itu menjadi salah satu dasar hukum, bila tidak ada nash yang sharih (jelas).
Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja, maka dia harus meng-qadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa, maka dia harus meng-qadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Mazhab Syafi'i dan Hanbali sebenarnya sama dengan Mazhab Hanafi yang mengqiyaskan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit, sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan, bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini adalah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain, yaitu harus membayar fidyah lantaran batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain
Wanita hamil hanya boleh meng-qadha dan tidak membayar fidyah sedangkan wanita menyusui yang khawatir akan anaknya, harus meng-qadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki. Dalil wanita hamil diqiyaskan murni kepada orang sakit, sedangkan wanita menyususi alasannya sama dengan alasan Madzhab Syafi'i dan Hanbali.
Silang pendapat di atas, dimana tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam masalah ini, sangat membuka peluang untuk berbeda pendapat bagi kita sebagai umat Islam dalam mengikutinya. Ada yang menarjihkan (memilih pendapat yang dianggap paling kuat) hukum ini bahwa harus qadha puasa saja, tidak membayar fidyah. Namun ada yang wajib membayar fidyah saja, tidak meng-qadha. Kondisi hamil dan menyusui yang sukar bagi wanita hendaknya tidak dibebankan lagi dengan mengganti puasa yang cukup memberatkan bagi mereka.
DR. Yusuf Qal- Qaradlawi, ulama kontemporer terkemuka, dalam Fikih Puasa cenderung menyokong pendapat yang mengutamakan membayar fidyah saja, dan tidak meng-qadha. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mengapa? Sebab hamil dan menyusui merupakan rahmat bagi seorang wanita.
Namun bila dicermati lebih lanjut, masih menurut Qardlawi, meng-qadha puasa dianggap lebih utama. Realita menunjukkan bahwa saat ini ibu-ibu masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya yang terjadi di sebagian besar di negara-negara Islam, dimana mereka banyak yang menjalani dua kali haml dan dua kali menyusui selama hidupnya. Ada juga wanita yang hamil dan menyusui sekali dalam hidupnya.
Dengan kata lain, masa-masa melahirkan danmenyusui merupakan momentum yang jarang terjadi dalam hidup mereka. Maka dalam hal ini, bagi mereka yang lebih tepat mengikuti pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yakni wajib qadha.
Namun, bagaimana dengan kondisi wanita yang sering hamil dan menyusui? Apalagi, misalnya, wanita tersebut melahirkan di bulan Ramadhan ; dan setelah Ramadhan itu ia tidak meng- qadha puasanya karena kekhawatairannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan lagi pada bulan Ramadhan selanjutnya.
Dalam hal ini, Syekh Utsaimin mewajibkan wanita tersebut untuk meng-qadha puasanya selama hari-hari puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan, walaupun puasa itu di-qadha di hari-hari setelah Ramadhan yang kedua. Hal tersebut dikarenakan ia tidak meng-qadha puasa antara Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua yang disebabkan adanya uzur atau suatu alasan tertentu.
Al- Fiqhul Islam wa Adillatuh karya Wahbah az Zuhaily menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi dua silang pendapat. Pertama, pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa setelah Ramadhan yang kedua berakhir, wanita tersebut wajib meng-qadha dan fidayah. Sedang pendapat kedua, menurut pendapat Mazhab Hanafi , tidak wajib fidyah, baik karena ada uzur maupun tidak.
Namun karena pendapat Syafi'i yang cenderung menekankan untuk membayar fidyah selain qadha, fidyah harus disesuaikan dengan jumlah tahun. Jika penangguhan qadha melewati satu tahun, fidyah yang dikeluarkan satu kali. Namun, jika melewati dua tahun, fidyah dikeluarkan dua kali, demikian seterusnya.
Hukum yang dibebankan kepada wanita hamil dan menyusui sebenarnya disandarkan pada prinsip memperhatikan aspek meringankan dan meniadakan kesulitan yang berlebihan. Sebagaimana Hadist Rasulullah SAW, ”Permudahlah dan jangan mempersulit, tenangkanlah dan jangan menggelisahkan.” (HR. Ahmad)
Hamil dan menyusui adalah dua kondisi berat yang dialami hampir semua wanita. Dalam rentang waktu sembilan bulan mengandung janin, pun mengkondisikan jiwa dan raga untuk calon buah hatinya, energi sang ibu begitu tersita. Saat persalinan berhasil pun, ia tak lantas bisa bebas beistirahat. Dua tahun kedepan, ia harus menyusui si bayi; rentang waktu yang cukup menguras tenaga dan pikirannya untuk merawat dan membesarkan anak tercinta.
Untuk kesukaran tersebut, Islam memberikan keringanan hukum dalam ranah puasa. Pasalnya, kewajiban menahan makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam itu membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang prima. Sementara vitalitas ibu hamil dan menyusui acapkali menyusut. Maka jangankan untuk menahan lapar dan dahaga selama 10 jam, kisaran waktu 2-3 jam saja tubuhnya sudah bergetar hebat.
Dalam hal inilah kewajiban berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui agak berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Kesukaran yang mereka hadapi diibaratkan orang yang sakit ditengah ketidakberdayaanya melawan penyakit. Sebab itu, wanita hamil dan menyusui diberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa.
”Diwajibkan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan seorang miskin.” (QS. Al- Baqarah : 185).
Sedang hadist Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah nilai shalat dari para musafir serta memberikan kemurahan bagi wanita hamil dan menyusui. Demi Allah. Rasulullah telah mengatakan keduanya, salah satu atau keduanya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi).
Namun, dispensasi (keringanan) tersebut 'diberikan' bukan Cuma-Cuma. Keputusan meninggalkan puasa tersebut harus ada alasan yang kuat; yakni uzur. Uzur disini jelas merupakan ketidaksanggupan (tidak kuatnya) mereka menjalani puasa.. Dalam beberapa kasus mereka bahkan ambruk lantaran kondisinya yang kurang stabil untuk berpuasa.
Uzur tersebut pun, menurut DR Wahbah az-Zuhaily, salah seorang syekh besar Al- Azhar, Mesir, merupakan kekhawatiran yang bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan, timbulnya suatu penyakit yang didasarkan pada analisa dokter muslim yang andal, adil, dan dapat dipercaya.
Bagaimana jika sebalilknya? Apakah wanita hamil dan menyusui tidak boleh berpuasa? Tentu, hukumnya kembali ke asal, yakni wajib. Sepanjang mereka tidak merasa berat, yakin sanggup menjalani serta tidak sampai membahayakan kondisi kesehatan diri dan janinnya.
Toh, tidak sedikit wanita hamil dan menyusui yang kuat menunaikan puasa sebulan penuh. Stimulus ibadah puasa seakan menjadi vitamin ekstra bagi mereka. Sebab dua kewajiban ibadah berisi nilai pahala tak terhingga merupakan kesempatan langka. Ramadhan datang setahun sekali, pun wanita hamil dan menyusui yang umumnya datang lebih jarang lagi. Sebuah karunia pahala hanya khusus dimiliki kaum muslimah.
Kendati demikian, pada tahap selanjutnya, wanita hamil dan menyusui pun harus mengerti benar koridor-koridor hukum dalam ranah puasa yang diberikan kemurahan tersebut. Sebab, bila mereka memang tidak berpuasa karena uzur, mereka dihadapkan pada dua hal; qadha (mengganti puasa dilain waktu setelah Ramadhan) dan membayar fidyah.
ANTARA QADHA DAN FIDYAH
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang secara garis besar terbagi menjadi empat pandangan :
Keduanya (wanita hamil maupun menyusui) harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi , Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Dalilnya adalah mengqiyaskan wanita hamildan menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa, dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain, sebagaimana jelas dalam Al- Qur'an surah Al- Baqarah ayat 184 dan 185. Pendapat ini disokong oleh ulama asal Mekkah, Syekh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin. Menurutnya penjelasan tentang membayar fidayah bagi yang meningglakan puasa karena uzur tidak ada dalam Al- Qur'an maupun Sunnah (Hadist)
Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa'id bin Jubair, serta Qatadah. Dalilnya adalah fatwa dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi mazhab yang menganggap bahwa fatwa sahabat itu menjadi salah satu dasar hukum, bila tidak ada nash yang sharih (jelas).
Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja, maka dia harus meng-qadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa, maka dia harus meng-qadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Mazhab Syafi'i dan Hanbali sebenarnya sama dengan Mazhab Hanafi yang mengqiyaskan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit, sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan, bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini adalah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain, yaitu harus membayar fidyah lantaran batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain
Wanita hamil hanya boleh meng-qadha dan tidak membayar fidyah sedangkan wanita menyusui yang khawatir akan anaknya, harus meng-qadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki. Dalil wanita hamil diqiyaskan murni kepada orang sakit, sedangkan wanita menyususi alasannya sama dengan alasan Madzhab Syafi'i dan Hanbali.
Silang pendapat di atas, dimana tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam masalah ini, sangat membuka peluang untuk berbeda pendapat bagi kita sebagai umat Islam dalam mengikutinya. Ada yang menarjihkan (memilih pendapat yang dianggap paling kuat) hukum ini bahwa harus qadha puasa saja, tidak membayar fidyah. Namun ada yang wajib membayar fidyah saja, tidak meng-qadha. Kondisi hamil dan menyusui yang sukar bagi wanita hendaknya tidak dibebankan lagi dengan mengganti puasa yang cukup memberatkan bagi mereka.
DR. Yusuf Qal- Qaradlawi, ulama kontemporer terkemuka, dalam Fikih Puasa cenderung menyokong pendapat yang mengutamakan membayar fidyah saja, dan tidak meng-qadha. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mengapa? Sebab hamil dan menyusui merupakan rahmat bagi seorang wanita.
Namun bila dicermati lebih lanjut, masih menurut Qardlawi, meng-qadha puasa dianggap lebih utama. Realita menunjukkan bahwa saat ini ibu-ibu masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya yang terjadi di sebagian besar di negara-negara Islam, dimana mereka banyak yang menjalani dua kali haml dan dua kali menyusui selama hidupnya. Ada juga wanita yang hamil dan menyusui sekali dalam hidupnya.
Dengan kata lain, masa-masa melahirkan danmenyusui merupakan momentum yang jarang terjadi dalam hidup mereka. Maka dalam hal ini, bagi mereka yang lebih tepat mengikuti pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yakni wajib qadha.
Namun, bagaimana dengan kondisi wanita yang sering hamil dan menyusui? Apalagi, misalnya, wanita tersebut melahirkan di bulan Ramadhan ; dan setelah Ramadhan itu ia tidak meng- qadha puasanya karena kekhawatairannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan lagi pada bulan Ramadhan selanjutnya.
Dalam hal ini, Syekh Utsaimin mewajibkan wanita tersebut untuk meng-qadha puasanya selama hari-hari puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan, walaupun puasa itu di-qadha di hari-hari setelah Ramadhan yang kedua. Hal tersebut dikarenakan ia tidak meng-qadha puasa antara Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua yang disebabkan adanya uzur atau suatu alasan tertentu.
Al- Fiqhul Islam wa Adillatuh karya Wahbah az Zuhaily menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi dua silang pendapat. Pertama, pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa setelah Ramadhan yang kedua berakhir, wanita tersebut wajib meng-qadha dan fidayah. Sedang pendapat kedua, menurut pendapat Mazhab Hanafi , tidak wajib fidyah, baik karena ada uzur maupun tidak.
Namun karena pendapat Syafi'i yang cenderung menekankan untuk membayar fidyah selain qadha, fidyah harus disesuaikan dengan jumlah tahun. Jika penangguhan qadha melewati satu tahun, fidyah yang dikeluarkan satu kali. Namun, jika melewati dua tahun, fidyah dikeluarkan dua kali, demikian seterusnya.
Hukum yang dibebankan kepada wanita hamil dan menyusui sebenarnya disandarkan pada prinsip memperhatikan aspek meringankan dan meniadakan kesulitan yang berlebihan. Sebagaimana Hadist Rasulullah SAW, ”Permudahlah dan jangan mempersulit, tenangkanlah dan jangan menggelisahkan.” (HR. Ahmad)