dakwatuna.com – Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Syarat pertama menyangkut
masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin
kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat,
sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan
Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal
perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat
kita.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).
Tentang
dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam
Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman:
22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….”
(An-Nisa: 125)
Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada
Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan
hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan
“mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan
dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.
Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala,
supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang
didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Seseorang
bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar
itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan
tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang
benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah
swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari
keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah
amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang
dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan
Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi
ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Jadi,
niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah
swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat.
Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan
tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.