ANAK yatim adalah aset kehidupan dan bakal sumber daya manusia yang berkualitas. Rasulullah Saw. sendiri memilih
berdiri di pihak mereka karena kekuatan dan keutamaan ini. Bahkan kelak, kepada
mereka yang mengasuh dan menyantuni
anak-anak yatim, Rasulullah Saw.
menjanjikan akan berdampingan di surga. Jaraknya amat rapat, sama seperti
jarak antara jari telunjuk dan jari tengah yang dipadukan.
Sebenarnya, tanggung jawab terhadap mereka merupakan kewajiban melekat terhadap siapa saja
yang memiliki wewenang, dan lebih-lebih yang memiliki kekuasaan. Buktinya, dalam UUD 1945 ayat 34 juga telah dicantumkan tentang perlindungan
terhadap anak-anak yatim ini. Akan
tetapi, tentu saja hingga sekarang pun
kita masih menunggu keseriusan dari pihak-pihak
yang berkompeten dalam hal ini.
Sementara, alangkah nistanya bila kita hanya berpangku tangan merasa tidak bertanggung jawab, melihat mereka gelisah menunggu nasib. Bagi kita, bukan
soal tertulis di undang-undang atau tidak, tetapi bagaimanakah agama kita
menganjurkan kita bersikap dalam menghadapi persoalan. Undang-undang,
sebagai buatan manusia, bisa saja berubah, tetapi hukum Allah tidak pernah mengalami perubahan.
Di samping karma dorongan
dari anjuran Nabi, kita juga bisa mengambil hikmah lebih besar dari
proses mendidik anak yatim. Secara naluri, mereka lebih
siap mandiri dibanding anak-anak biasa. Karna itu, bila diarahkan secara benar, rasa sadar diri terhadap kemahaagungan
Allah
akan lebih total. Mereka memang tidak memiliki tempat mengadu yang
lain di kala hati sedang dilanda pilu.
Allah-lah tempatnya melaporkan segala
keluh-kesah hatinya, gundah-gulananya.
Akan tetapi, potensi kemandirian itu pun bisa mengarah
kepada kerusakan bila tidak mendapatkan bimbingan yang benar. Anak-anak ini
cenderung sulit diatur bila telanjur salah didik. Mereka merasa lepas dari
pengawasan karena kebiasaan. Alangkah sayang bila terjadi yang demikian karena
keburukan salah seorang anggota masyarakat berarti ancaman bagi anggota yang lain. Karenanya, anak-anak
yatim merupakan aset yang mahal bila telah berhasil
digali dan didayagunakan kemampuannya. Jangan sampai terlambat hingga menyebabkan aset itu berubah menjadi parasit dan
sumber bencana yang lain.
Sungguh beruntung karena kini lembaga-lembaga yang mengurus anak yatim
semakin banyak bermunculan. Ibarat cendawan yang tumbuh di musim hujan, hampir
di setiap daerah sebagian mereka tertampungdi lembaga-lembaga keyatiman,
seperti panti asuhan ataupun yayasan-yayasan sejenis lainnya.
Namun, apakah masalahnya selesai di
sini? Belum tentu. Sebab, dalam perjalanannya
ternyata tidak sedikit anak-anak yatim
ini yang harus mengalami nasib malang lanjutan. Mereka
dijadikan objek mencari keuntungan. Yang
ini tentu saja khusus terjadi di sebuah lembaga yang memang mengkhususkan diri mengurus anak-anak yatim. Bagi
anak-anak malang yang kebetulan tumbuh di keluarga-keluarga biasa, atau
pada keluarga yang memperalat mereka, tentu nasib anak yatim agak rentan. Paling-paling anak-anak itu kemudian menjadi
objek kemarahan, tempat tumpahan kejengkelan, bila terjadi masalah dengan
induk semangnya. Hal itu pun tetap berpengaruh buruk terhadap perkembangan
kejiwaan mereka, hanya saja unsur
"memanfaatkan" mereka tidak ada.
Kasus-kasus "memperalat" anak yatim
kadang terjadi bila niat para pengasuhnya
telah bergeser. Sekilas ini wajar mengingat mengasuh anak-anak begitu banyak, juga membutuhkan tenaga dan
pikiran ekstra, apalagi bila anak-anak itu semakin tidak bisa diatur,
semakin bandel, dan tidak serajin dan sekreatif yang diinginkan. Lalu, para
pengasuhnya merasa jengkel dan memilih untuk
mendapatkan apa yang bisa didapat saja. Bila hanya sebatas ini, sebenarnya tidak mengapa. Toh orang tua
sendiri pun, bila melihat anaknya tidak bisa diarahkan, juga akan jengkel.
Tetapi, yang tidak sehat adalah bila hal
ini kemudian menjadi salah kaprah yang berkelanjutan.
Anak yatim harus diperlakukan sama
dengan yang lain. Mereka bisa menjadi penurut dan bisa menjadi amat nakal dan susah diatur. Ini merupakan ciri
alamiah seorang anak. Maka, salahlah lembaga panti asuhan yang hanya
mengambil anak-anak yang penurut dan membuang yang bandel. Karena, apa
maknanya sebuah pendidikan jika kita membiarkan anak-anak yang sedang mencari
perhatian itu dilepas dari pendidikan dan kasih sayang kita? Mengapa harus
menyia-nyiakan amanah masyarakat yang telah banyak membiayai jika kita hanya
memilih mereka yang baik-baik?
image http://www.anneahira.com/images/zakat-mal.jpg