Perbedaan,
jika tidak disikapi secara dewasa, hanya akan membuat pertengkaran dan
pertengkaran, hingga akhirnya sengsara bagi pelakunya sendiri. Pertengkaran,
bagaimanapun, bentuknya akan berakibat tidak baik—sampai kapan pun.
Kerap kali
kita bertengkar gara-gara sebuah perbedaan pendapat. Bahkan, dalam dunia
pemikiran agama, ada pengarang muslim yang menulis buku yang isinya lebih untuk
menyerang pendapat muslim lain. Sangat disayangkan jika para pengarang itu
menulis demikian, di mana isinya lebih banyak menghujat daripada berusaha
mencari titik temu. Apakah tidak lebih baik mereka menulis buku bertemakan
lain saja—yang isinya tidak menghakimi dan memprovokasi sebuah perpecahan umat.
Padahal,
biasanya perbedaan yang sering terjadi di kalangan masyarakat kita hanyalah
sebuah perbedaan sudut pandang saja—seperti kisah di atas.
Kita
mengetahui kehidupan beragama semakin beragam dan terbuka. Era informasi
membuat sesuatu menjadi lebih mudah, cepat, bebas, dan tidak terkendali.
Apabila umat Islam di Indonesia masih menutup diri, tidak berbenah, dan hanya
berkutat dalam masalah perbedaan sudut pandang di antara sesama penganutnya,
maka dipastikan kita akan semakin jauh tertinggal.
Bukan rahasia
lagi bahwa berbagai pandangan keagamaan yang saling berbeda muncul dari para
ulama yang berbeda, meskipun masing-masing mendasarkan upaya ijtihadnya pada
kitab al-Qur'an yang sama. perbedaan dalam aliran-aliran kalam, madzhab-madzhab
fiqh, dan aliran-aliran tasawuf adalah ilustrasi yang sudah sangat akrab dan
populer.
Penting
diingat bahwa perbedaan pendapat manusiawi ini sudah barang tentu lahir dari
latar belakang yang bersifat manusiawi pula. Kecenderungan personal, latar
belakang pendidikan, kemampuan individual, konteks sosial, politik, dan budaya,
semua dapat menyumbang secara signifikan terhadap lahirnya perbedaan pendapat
seseorang.
Klaim
kebenaran, egosentrisme, eksklusivisme, dan agresivitas adalah naluri dan sifat
dasar manusia untuk mencintai dirinya sendiri, mencintai capaian-capaian‑nya,
mencintai apa-apa yang dimilikinya, termasuk mencintai pandangan dan
paham-paham keagamaannya sendiri. Mencintai diri, mencintai golongan, dan
meneladani tokoh pujaan mendorong seseorang untuk memiliki secara eksklusif.
Sifat dasar
yang sangat manusiawi ini menjelaskan mengapa orang gigih membela dan
mempertahankan paham keagamaan yang dipandangnya paling baik.
Atas nama
"Tuhan", tak jarang, kita justru bertengkar dengan sesama. Kita
berlomba-lomba menjelek-jelekkan orang dan memvonisnya sebagai pendosa. Seolah
hanya kita sajalah yang layak mendapat kemuliaan-Nya. Doktrin ini ikut pula
melumpuhkan ajaran moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa
bahwa ajaran Islam sangat menekankan amal shalih (etika) kepada sesama.
Dengan siapa
pun tak ada pertengkaran yang dibolehkan. Selain tidak ada manfaatnya,
pertengkaran sering menimbulkan bencana bagi kehidupan, seperti terjadi perang
antarsuku, antarbangsa, bahkan antaragama.
Dalam
sejarah Islam, Imam Ali bin Abi Thalib menemui ajal saat ditikam punggungnya
dari belakang oleh Abdurrahman bin Muljam. Ali mencapai puncak kesyahidan
karena memang demikian harapan beliau dalam setiap doanya.
Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Al-Ashbagh al-Handhali berkata, "Saat terbit
fajar, ia didatangi oleh Ibnu Tayyah, dan dikabarkan bahwa waktu subuh (saat
adzan berkumandang) tampak Ali berjalan menuju masjid. Abdurrahman bin Muljam diam-diam mengikutinya. Tatkala beliau sedang
menjalankan shalat subuh, tiba-tiba Abdurrahman bin Muliam menikam punggungnya.
Beliau pun roboh seraya berucap, 'Demi Allah, Sang Pemilik Ka'bah, kami telah
mendapatkan kemenangan.' Kemudian, Imam Ali tidak mengatakan apa-apa selain
ucapan laa ilaaha illallaah, hingga kematian datang menjemputnya.
Imam Ali
meninggal pada usia 63 tahun. Beliau menghembuskan napasnya yang terakhir pada
tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah dan dikuburkan secara rahasia di wilayah
Najaf.
Nah,
Abdurrahman bin Muljam ini adalah tokoh Islam dari golongan Khawarij—konon
lelaki kejam ini hafal al-Qur'an dan dahinya hitam karena banyak bersujud.
Sayang, karena berbeda pendapat, la rela membunuh saudaranya sendiri.