Dalam kitabnya, Maqâshid al-Shaum, Sulthân al-Ulamâ’, Imam
Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami (w. 660 H) mengatakan paling tidak ada tujuh
faedah puasa di bulan Ramadan yang satu sama lainnya saling terkait. Faedah
yang dibicarakan di sini adalah soal “pembangunan diri”, baik dari sisi agama
(pahala) maupun individu. Tujuh faedah tersebut adalah:
1. Raf’u al-Darajât (Meninggikan Derajat)
Pandangannya ini didasari oleh beberapa hadits Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, salah satunya yang mengatakan: “Ketika
Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan
setan pun dibelenggu.” (HR Imam Muslim) Imam Izzuddin memandang taftîh abwâb
al-jannah (dibukanya pintu surga) sebagai simbol atau tanda untuk memperbanyak
ketaatan (taktsîr al-thâ’ât), terutama yang diwajibkan. (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, Damaskus: Darul Fikr, 1992, hlm 12).
Logika sederhananya begini, meskipun pintu surga telah
dibuka lebar-lebar, apakah semua orang berhak melintasinya tanpa memperbanyak
ketaatan selama bulan Ramadhan dan bulan-bulan setelahnya? Artinya, dibukanya
pintu surga merupakan dorongan untuk memperbanyak ibadah. Apa artinya pintu
yang terbuka tanpa ada seorang pun yang berkeinginan untuk memasukinya.
Tentang ditutupnya pintu neraka (taghlîq abwâb al-nâr),
Imam Izzuddin menganggapnya sebagai simbol, “qillah al-ma’âshî,” untuk
menyedikitkan maksiat. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid
al-Shaum, hlm 12).
Penggunaan kata “qillah—sedikit” ini menarik, seakan-akan
Imam Izzuddin memahami betul manusia yang tidak mungkin sempurna dalam
menghindari kesalahan. Manusia pasti membawa dosanya ketika menghadap Tuhannya
di akhirat kelak, yang membedakan adalah kadarnya, banyak atau sedikit. Karena
itu, “qillah al-ma’âshî”, oleh Imam Izuddin al-Sulami dijadikan penjelasan dari
simbol ditutupnya pintu neraka. Simbol berikutnya adalah dibelenggunya setan
(tashfîd al-syayâthîn).
Menurutnya, simbol ini adalah tanda terputusnya kewaswasan
(bisikan lembut setan) bagi orang-orang yang berpuasa. (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 12). Artinya, baik buruknya orang
yang berpuasa murni tergantung pada dirinya sendiri. Karena itu, akan sangat
tidak etis jika manusia dengan berbagai peluang kemuliaan derajat yang
diberikan Allah di bulan Ramadhan ini masih enggan berbuat baik dan malah
berbuat jahat.
2. Takfîr al-Khathî’ât (Penghapus Kesalahan/Dosa)
Dasar dari faedah yang kedua ini adalah hadits Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, “Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Yang dimaksud “îmânan—karena iman” dalam hadits di atas
adalah meyakini kewajiban puasa dan melaksanakannya (bi wujûbihi). Dan maksud
dari “ihtisâban—mengharapkan pahala” adalah, “li ajrihi ‘inda
rabbihi—merendahkan diri memohon upah/pahala dari Tuhannya”. (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 15).
Meminta imbalan (pamrih) kepada Allah merupakan bentuk
penyerahan diri, pernyataan keimanan dan menyatakan kelemahan di hadapan-Nya.
Berbeda halnya dengan pamrih antar sesama manusia yang seakan-akan menunjukkan
ketidak-tulusan. Di samping itu, manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri,
sekuat dan setegar apa pun dia, sekaya dan semampu apa pun dia, manusia tidak
mungkin lepas dari persoalan hidup, sehingga meminta imbalan kepada mereka,
sama saja dengan menambahi beban hidup mereka.
3. Kasr al-Syahawât (Memalingkan/Mengalahkan Syahwat)
Faedah puasa berikut ini didasari oleh hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: “Wahai para pemuda, barangsiapa
yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa
menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum
mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan
syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Hadits di atas yang membuat Imam Izzuddin al-Sulami
berpendapat bahwa lapar dan haus dapat mengalahkan atau memalingkan syahwat.
Beliau mengatakan: “Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat
bermaksiat.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm
15).
Perlu dipahami sebelumnya, bahwa lapar dan haus di sini
bukan kelaparan dan kehausan yang disebabkan oleh keadaan yang sering
menimbulkan problem sosial seperti pencurian, perampokan, dan lain sebagainya.
Lapar dan haus di sini adalah puasa, yaitu lapar dan haus yang disengaja dan
didasari oleh niat ibadah. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan haus
memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa nafsu dan
meminimalisasi syahwat bermaksiat.
4. Taktsîr al-Shadaqât (Memperbanyak Sedekah)
Dalam pandangan Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat
membuat manusia memperbanyak sedekah. Beliau mengatakan: “Karena sesungguhnya
orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal
itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang
lapar.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16).
Merasakan penderitaan bisa mengarahkan manusia pada dua
hal, menjadi egois dan menjadi dermawan. Menjadi egois karena dia ingin
memiliki semuanya sendiri agar tidak merasakan penderitaan itu lagi. Menjadi
dermawan karena dia pernah merasakan susahnya menderita sehingga ketika melihat
orang lain menderita, dia ikut merasakannya. Dalam hal ini, puasa merupakan
sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois).
Orang yang berpuasa telah menyengajakan dirinya untuk
melalui peleburan tersebut, dan melatih dirinya sendiri untuk menjadi lebih
perasa. Di paragaraf berikutnya, Imam Izzudin bercerita tentang Nabi Sulaiman
atau Nabi Yusuf yang tidak makan hingga semua orang yang memiliki hubungan
dengannya (keluarga atau rakyatnya) makan.
Seseorang bertanya, “kenapa melakukan hal semacam itu?”
Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf menjawab, “akhâfu an asyba’a fa ansâ al-jâi’—aku
takut ketika kenyang, aku melupakan orang-orang yang lapar.” (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16). Sebab, diakui atau tidak,
orang yang terlalu kenyang, memiliki kecenderungan lalai yang lebih besar.
Mungkin, ini salah satu alasan dari anjuran, “berhenti makan sebelum kenyang.”
5. Taufîr al-Thâ’ât (Memperbanyak/Menyempurnakan Ketaatan)
Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memandang bahwa
orang yang berpuasa mengingatkan mereka pada lapar dan hausnya ahli neraka.
Beliau mengatakan: “Karena puasa mengingatkan kelaparan dan hausnya ahli
neraka. Hal itulah yang mendorong orang berpuasa memperbanyak ketaatan kepada
Allah agar terselamatkan dari api neraka.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17).
Di sinilah pentingnya pengetahuan, karena pengetahuan bisa
membuat manusia memperbaharui atau mengarahkan niat ibadahnya. Perkataan Imam
Izuddin al-Sulami di atas, belum tentu terpikirkan oleh orang yang menjalankan
ibadah puasa, tapi dengan membaca perkataannya, manusia bisa memahami kelaparan
dan kehausan puasa dari sudut pandang lain, yaitu mengingatkan mereka pada
kelaparan dan kehausan ahli neraka, sehingga mendorong mereka memperbanyakan
ketaatan mereka kepada Allah agar tidak sampai mengalami kejadiaan itu
selama-lamanya di neraka.
6. Syukr ‘Âlim al-Khafiyyât (Bersyukur Mengetahui
Kenikmatan Tersembunyi)
Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya
sehari-hari seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Menurut Imam
Izzuddin al-Sulami, puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka
mensyukurinya. Beliau berkata “Ketika berpuasa, manusa menjadi tahu nikmat
Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka
bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak diketahui kadar/nilainya tanpa melalui
hilangnya rasa nikmat itu (terlebih dahulu).” (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17).
Kelalaian akan segala nikmat Allah harus diuji agar kembali
dikenali. Ujian itu bisa dihadirkan “tanpa disengaja” dan “dengan disengaja”.
Ujian “tanpa disengaja” adalah ujian yang langsung dari Allah, contohnya sakit
gigi (langsung dari Allah), sehingga penderitanya mengetahui nikmatnya sehat.
Ujian “dengan disengaja” adalah ujian yang sengaja oleh pelakunya sebagai
bentuk riyadlah (olah diri), contohnya berpuasa, sehingga pelakunya semakin
mengenali nikmatnya kenyang dan hilangnya rasa haus.
7. Al-Inzijâr ‘an Khawâthir al-Ma’âshî wa al-Mukhâlafât
(Mencegah Keinginan Bermaksiat dan Berlawanan)
Dalam pandangan Imam Izzuddin, orang yang kenyang memiliki
kecenderungan lebih untuk bermaksiat (thamahat ilâ al-ma’âshî), tapi di saat
lapar dan haus, fokusnya lebih pada, “tasyawwafat ilâ al-math’ûmât wa
al-masyrûbât—mencari makanan dan minuman (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17), sehingga mengurangi keinginannya berbuat
jahat.
Tapi sekali lagi perlu diingat, lapar dan haus di sini
adalah puasa, bukan kelaparan yang disebabkan oleh keadaan tertentu (untuk
lebih jelasnya baca nomor 3). Mudahnya begini, puasa merupakan ibadah
yang memiliki cakupan waktu yang cukup panjang, dari mulai fajar hingga
terbenamnya matahari. Dengan demikian, puasa bisa menjadi pencegah efektif
untuk manusia dari melakukan perbuatan jahat.
Ketika dia hendak melakukan sesuatu, dia teringat bahwa
dirinya sedang berpuasa, atau puasanya telah mengingatkan dirinya agar tidak
melakukannya. Jika dia tetap melakukannya, dia telah menghilangkan keberkahan
puasanya sekaligus melanggar janjinya kepada Tuhan setelah mengikrarkan niatnya
untuk berpuasa. Inilah tujuh faedah puasa menurut sultannya para ulama, Imam
Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: https://islam.nu.or.id/ramadhan/tujuh-faedah-puasa-ramadhan-67HHd