Segala puji bagi Allah Pencipta semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikut mereka dengan kebaikan hingga hari akhir.
Wahai
saudaraku yang mulia di Indonesia, negeri yang penuh dengan keberkahan, yang
penduduknya mencintai Islam, lalu memeluk Islam juga karena cinta terhadap
agama ini, karena mereka merasa kagum dengan akhlak mulia yang mereka temukan
dalam Islam, serta sifat-sifat terpuji dari umat Islam yang bersosialisasi
dengan mereka. Suatu fakta yang meniscayakan Indonesia menjadi negeri muslim
terbesar, dengan penduduk dan luas teritorialnya.
Saya temukan
pada diri kalian, kemurnian fitrah dan akhlak yang baik, sesuatu yang
menjadikan saya sangat cinta pada negeri ini dan penduduknya. Saya merasakan,
penduduk Indonesia berhasil merepresentasikan kejernihan bersikap yang
dibutuhkan oleh banyak bangsa-bangsa Muslim.
Umat Islam
saat ini membutuhkan keteguhan dalam berpegang diri pada Islam yang benar, yang
jauh dari propaganda yang mereduksi (kebenaran ajarannya). Umat Islam butuh
untuk mempraktikkan semua petuah, yang sementara ini hilang dari pikiran kita,
(padahal) itu adalah inti syariat dan dasar agama kita. Jika tidak, maka bahaya
mengancam umat dan akan menghancurkannya.
Saya tidak
mengerti, mengapa perpecahan dan perselisihan menimpa umat ini, padahal kita
adalah umat yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya: “Sungguh agama tauhid
inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah
Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92)
Allah
memerintahkan, sekaligus menguji kita dalam perintah-Nya, “Dan berpegang
teguhlah kamu semua pada tali (agama) Allahdan janganlah kamu bercerai berai.
Ingatlah nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan,
lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi
bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kalian dari sana.
Demikianlah,
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu kalian agar kamu mendapatkan
petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103) Allah juga berfirman kepada kita: “Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua
saudaramu (yang berselisih). Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan
rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Sesungguhnya
kaum yang tamak terhadap sumber daya bangsa kita, begitu benci terhadap
persatuan kita, tidak suka kita menjadi umat yang satu. Mereka tidak suka, kita
seiya sekata sehingga menjadi kuat dalam ekonomi, kuat dalam lembaga pendidikan
dan perusahaan kita, kuat dalam independensi keputusan dan kedaulatan bangsa.
Sungguh banyak kekuatan zhalim yang menginginkan bangsa kita bekerja untuk
kepentingannya, (sehingga) bangsa ini menjadi miskin, tidak memiliki keputusan
dan kekuatan, lemah, tidak mampu membela kepentingan dan tidak mampu bangkit.
" Saat
ini kita butuh pada persatuan umat dan merapatkan barisan, melaksanakan
perintah Allah agar kita berpegang taguh pada tali-Nya, demi menjaga masa depan
umat. Agama kita mempersatukan, bukan memecah belah, lalu mengapa kita terpecah
tidak mau bersatu? Agama Islam menyeru kita untuk saling mencintai dan bekerjasama,
lalu mengapa kita saling membenci dan menjauh? Bukankah Nabi Muhammad SAW dalam
hadits shahih mengingatkan, “Janganlah saling hasud, berseteru, saling
membenci, saling menjauh. Sebagian kalian tidak boleh menjual atas jualan
sebagian yang lain. Jadiah hamba Allah yang bersaudara. Muslim adalah saudara
bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menganiaya, merendahkan, dan menghinanya.
Ketakwaan itu ada di sini (Nabi menunjuk dada beliau sebanyak tiga kali).
Cukuplah kejelekan seseorang, dengan dia merendahkan saudaranya yang muslim.
Setiap muslim bagi muslim yang lain, haram darah, harta, dan kehormatannya
Sesungguhnya
faktor yang dapat menyatukan kita, meski dengan beragamnya pendapat dan
perbedaan ijtihad, lebih besar daripada faktor yang dapat memisahkan kita.
Tidak selayaknya kita memberi kesempatan pada setan untuk merusak hubungan
persaudaraan yang telah diamanahkan Allah di antara kita. Bukankah Allah
berfirman kepada kita: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena
itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang berselisih). Bertakwalah kepada
Allah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Bukankah
Allah mengingatkan kita, terhadap siapapun yang merusak hubungan di antara
kita, dan Allah menjelaskan kepada kita bahwa dia adalah setan. Allah
berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik. Sungguh, setan itu selalu menimbulkan perselisihan
di antara mereka. Sungguh setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS.
Al-Isra: 53).
Setan pada
ayat ini, terkadang berbentuk jin, terkadang pula berbentuk manusia. Siapapun
yang berkeinginan menyebarkan perpecahan dan kebencian di antara kita, dia
telah memerankan pekerjaan setan.
Saudaraku
yang mulia. Marilah kita mengadakan perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip
agama kita, berpondasikan hal-hal yang telah disepakati oleh nash-nash
syari’at, yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Berdasarkan hal itu semua persatuan
kita terjaga dan barisan kita menjadi kokoh.Berdasarkan hal itu kita bersatu,
menebarkan cinta di antara kita, bukan kebencian
Semua kita
beriman kepada al-Qur’an dan Sunnah yang suci, sebagai sumber syariat, dalam
rangka mengamalkan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan janganlah kamu merusakkan segala
amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Kita semua
cinta kepada keluarga Nabi, di mana kecintaan kepada mereka merupakan bagian
dari ajaran agama kita. Keturunan Nabi Muhammad SAW adalah panutan kita. Cinta
kepada semua sahabat, sesuai prinsip persatuan umat, seperti yang dimaksud oleh
kebanyakan sahabat, adalah perkara yang tidak dapat dipungkiri.
Bukankah
Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu
impalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan, dan barang
siapa mengerjakan kebaikan akan kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh Allah
Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS . al-Syura: 23). Kita tidak lupa terhadap
hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan al-Nasai,
dengan redaksi yang mirip, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Rasulullah SAW
dalam hajinya, pada hari Arafah, berkhutbah - sedang beliau berada di atas unta
beliau “Qashwa”. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian sesuatu yang bila kalian berpegang
teguh padanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Itrah,
keluargaku.” Dan pastinya kalian tahu, bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW adalah
penyebab masuknya Islam di negara kalian, Indonesia.
Kita semua
sepakat bahwa di antara tugas kita adalah mempelajari hal pokok dalam akidah
kita, hal pokok dari hukum-hukum syariat. Hal itu dapat menjadikan sah ibadah
dan muamalah kita. Jalan menuju ke sana adalah dengan cara kembali kepada ulama
yang disebut sebagai “orang yang berilmu” oleh Allah dalam kitabsuci-Nya: “Dan
Kami tidak mengutus (Rasul-Rasul) sebelum Engkau (Muhammad), melainkan beberapa
orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada
orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)
Karena tidak
semua orang mampu mengambil hukum dari al-Qur’an dan Sunnah, maka menjadi suatu
keniscayaan orang awam kembali kepada ulama yang kompeten. Mereka tidak mampu
mempraktikkan syarat ijtihad, maka mereka harus kembali kepada hasil ijtihad
para ulama mujtahid. Umat Islam selalu konsisten dan terbukti selalu mengikuti
imam-imam mujtahid madzhab. Mengikuti mereka bukan karena mereka atau hasil
ijtihad mereka belaka, namun capaian madzhab mereka dalam dinamika perjalanan
madzhab, mulai generasi ashhab, kemudian ulama mujtahid madzhab, lalu
pen-tarjih, dan mufti. Hal itu terjadi berabad-abad, melalui proses penelitian
mendalam (tahqiq) dan diskusi (munaqasyah) hingga madzhab mereka teruji, di
mana salah seorang di antara kita tidak dapat melakukannya.
Bukanlah
suatu kebijaksanaan, kita memulai sesuatu yang telah dilakukan oleh para imam
yang jeda masa mereka dengan Nabi Muhammad SAW hanya dua abad. Kita tidak dapat
acuh terhadap usaha mereka, perpustakaan besar yang mengoleksi karya fiqih, dan
segala apapun yang menjelaskan tentang syariat. Sedangkan kita di masa ini
dipisahkan oleh 14 abad. Bahasa kita lebih lemah untuk memahami nash (dalil).
Penguasaan kita terhadap syarat ijtihad dan pirantinya sangat lemah. Tidak
mengindahkan madzhab-madzhab fiqih berarti memusnahkan khazanah keilmuan
klasik, sesuatu yang telah dihasilkan oleh ribuan ulama. Mereka mengerahkan
segenap usaha untuk meneliti produk-produk ijtihad para imam fiqih dan para
pengikut mereka pada era berikutnya.
Mereka juga
menyempurnakan amal usaha dalam membangun keilmuan fiqih ini untuk
menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi saat sudah tersedia nash, atau
hal-hal yang telah terjadi atau dipotensikan akan terjadi. Hasil diskusi antar
ulama merupakan simpanan kekayaan besar, dalam pola diskusi yang baik, sisi
pengambilan hukum dari dalil (idtidlal), dalam kekuatan dan keelokannya.
Umat Islam
meskipun berbeda, namun mereka bertemu dalam pokok dan prinsip agama yang sama,
berupa hakikat keimanan, sumber hukum, dan lainnya. Umat Islam sebenarnya sejak
dulu telah berbeda pendapat, namun mereka menyudahi perbedaan mereka dengan
diskusi ilmiah, dilakukan di masjid-masjid, atau di depan pemerintah. Mereka
tidak menyelesaikan perselisihan itu dengan kekerasan, kecuali yang memang
hujjahnya lemah. Umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak
berinteraksi dengan kelompok yang berbeda dengan cara keras dan lalim. Hal itu
memang tidak sepatutnya terjadi. Kita, jika diperintahkan untuk bedebat dengan
ahli kitab atau kelompok yang berbeda lainnya, harus hanya dengan cara yang
baik. Lalu, mengapa kita lebih memilih cara ekstrim, takfiri, dan keras
terhadap saudara-saudara kita sendiri yang terkadang mereka berbeda dengan kita
yang umumnya dalam masalah ijtihadiyah, atau yang kebenarannya relatif (tidak
absolut).
Allah telah
memerintahkan kita untuk mengatakan kepada Ahli Kitab: “Katakanlah:"Hai
Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu.” (QS. Ali Imran: 64). Jika Allah
memerintahkan kita sedemikian rupa dalam menyikapi non Muslim, maka lebih utama
lagi bagi kita untuk mencari pola yang dapat menyatukan kita. Bukan dengan cara
mencari dan memanfaatkan perselisihan, atau mencari-cari hal-hal yang kita
anggap salah pada saudara kita. Penyematan kata kufur dan syirik terhadap
kelompok berbeda tidak menguntungkan persatuan umat yang telah diperintahkan
Allah. Hal itu bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang
beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang
berselisih). Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS.
Al-Hujurat: 10). “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmt.” (QS. Al-Anfal: 46) Semua perselisihan
itu telah menjadikan umat Islam berkeping, tercerai-berai, lemah dalam
menghadapi musuhnya, tidak mampu mewujudkan berbagai kemaslahatannya.
Allah telah menyebut umat Islam bahwa mereka
adalah “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”
Sebagai
penutup, wahai saudara yang saya cintai, sesungguhnya negeri kalian adalah
amanah di pundak. Karena itu jangan kalian rusak dengan keteledoran dan
perselisihan. Umat kalian adalah amanah di pundak, jangan diceraiberaikan
dengan polemik dan perseteruan. Kalian adalah bangsa yang beriman, yang baik,
yang tetap menjaga persatuan umat meski pernah digampur oleh banyak serangan,
selama lebih dari 3 abad. Persaudaraan Islam adalah amanah Allah, karena itu jangan
dirusak. Allah akan menanyai kalian tentang hal ini.
Semoga Allah
menjaga Indonesia, bangsa, agama, pemuda, pemudi, pesantren, dan universitas
negeri ini. Semoga Allah menjadikannya senantiasa berada dalam bimbingan-Nya.
Semoga Allah memberipetunjuk terhadap hal yang Dia ridhai. Semoga kalian dan
negeri kalian mendapatkan kebaikan, kebahagiaan, dan kemakmuran.
Sumber: https://www.nu.or.id/taushiyah/seruan-syekh-taufiq-ramadhan-al-buthi-untuk-bangsa-indonesia-kOoqr