Memasuki bulan suci Ramadhan, kita mungkin akrab dengan
hadits-hadits keutamaan Ramadhan yang disampaikan penceramah, khatib, atau yang
dimuat dalam media online. Salah satunya adalah hadits, “Jika bulan Ramadhan datang,
maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan
dibelanggu.”
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Yahya bin Ayyub,
Qutaibah, dan Ibnu Hajar. Mereka meriwayatkannya dari Ismail bin Ja‘far, dari
Abu Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah dari Baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ihwal kesahihannya tak perlu diragukan mengingat hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (nomor 1079) yang termasuk salah
satu dari dua kitab hadits paling otoritatif di tengah kaum Muslimin.
Redaksi lain menyebutkan sebagai berikut: “Jika masuk malam
pertama bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu,” dengan
tambahan redaksi, “Sebuah suara menyeru, ‘Wahai pencari kebaikan, menghadaplah!
Wahai pencari keburukan, batasilah! Sungguh Allah memiliki hamba-hamba yang
dibebaskan dari neraka.’ Seruan itu terjadi setiap malam.”
Hadits kedua diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya (nomor 682) dari Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Ala bin Kuraib, dari Abu
Bakar bin ‘Abbas, dari Al-A‘masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah. Masih
banyak lagi perawi dan penulis kitab meriwayatkan hadits ini.
Dari hadits ini, muncul sebuah pertanyaan ringan, unik,
namun penting dicarikan jawabannya. Pertanyaannya, mengapa di bulan Ramadhan
masih banyak saja manusia yang maksiat dan mengumbar syahwat? Bukanlah setan
dan jin-jin yang jahat sudah dibelenggu? Mestinya jika tidak ada yang menggoda,
semua manusia berbuat taat.
Secara harfiah kata “shaffada” bermakna “mengikat”,
“membelengu”, termasuk membelenggu dengan belenggu besi, seperti yang
disebutkan Ibnu Hajar. Kemudian, terkait makna hakiki dari hadits ini, para
ulama hadits sendiri memiliki pendapat beragam.
Al-Halimi yang dikutip oleh Badruddin Al-Aini dalam
‘Umdatul Qari mengatakan, mungkin saja hadits ini bermakna bahwa setan
senantiasa mencuri-curi dengar informasi langit. Namun, pada bulan suci
Ramadhan, mereka tidak dapat melakukan hal itu karena dibelenggu, termasuk
menggoda manusia.
Sebagaimana diketahui, zaman Al-Qur‘an diturunkan mereka
senantiasa dihalang-halangi mencuri tahu wahyu yang turun. Itu terjadi antara
lain demi menjaga keotentikan wayhu.
Mungkin pula hadits ini bermakna, pada bulan Ramadhan setan
tidak terlalu leluasa menggoda manusia layaknya pada bulan-bulan lain karena
kesibukan manusia berpuasa, membaca Al-Qur‘an, berzikir, dan seterusnya.
Dengan demikian, istilah “dibelenggu” menjadi ungkapan atas
kelemahan setan menyelewengkan, menggoda manusia, dan memperindah keinginan
syahwat manusia. Walhasil, menurut Abu Muhammad penulis Kitab ‘Umdatul
Qari, mengapa kemaksiatan masih merebak pada bulan Ramadhan walau setan
dibelenggu?
Jawabannya setan terbelenggu pada bulan itu bagi
orang-orang berpuasa yang menjaga syarat, rukun, dan adabnya. (Syekh Badruddin
Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, juz X, halaman 270).
Ada lagi yang berpendapat bahwa setan yang dibelenggu hanya
sebagian saja, tidak seluruhnya. Jadi, maksud hadits ini hanya membatasi ruang
gerak setan dan jin-jin jahat saja. Itu pun dilakukan oleh orang-orang yang
berpuasa.
Kemudian, pembelengguan setan tidak berhubungan langsung
dengan keburukan dan kemaksiatan manusia. Sebab, dalam diri manusia masih
terdapat pemicu atau pendorong keburukan lain, yakni nafsu, kebiasaan buruk,
dan setan manusia.
Adakalanya, tanpa setan, kebiasaan buruk akan mendorong
manusia untuk berbuat buruk. Saat tidak dibelenggu pun, setan hanya mendorong
dan memperindah keburukan. (Lihat Jamaluddin Abul Farj, Kasyful Musykil min
Haditsis Shahihain, juz III, halaman 409).
Ada pula yang menafsirkan ungkapan hadits ini sebagai
kiasan, seperti Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi. Ia mengatakan, “Menurut hemat
saya, maksud ‘dibelenggu’ di sana adalah majaz (kiasan). Maknanya, wallahu
a‘lam, Allah senantiasa menjaga kaum Muslimin yang taat di bulan Ramadhan dari
godaan setan sehingga mereka mampu menghindari kemaksiatan. Dengan begitu,
setan tidak leluasa menggoda mereka yang berlainan halnya dengan bulan-bulan di
luar Ramadhan,” (Lihat Al-Istidzkar, juz III, halaman 377).
Dengan demikian, pengertian setan dibelenggu dalam hadits
tadi tidak dapat dimaknai sepenuhnya secara harfiah. Mayoritas ulama hadits
bahkan menafsirkannya secara kiasan. Artinya, setan terbelenggu dan terbatasi
ruang geraknya oleh orang-orang yang berpuasa dengan senantiasa memenuhi
syarat, rukun, dan adabnya. Pada saat yang sama, Allah memelihara mereka dari
perbuatan tercela.
Oleh karena itu, berusahalah untuk menjauhi kebiasaan
buruk, menjauhi manusia setan, dan mengendalikan nafsu yang kerap ditumpangi
setan jin dalam menyesatkan manusia. Jangan lupa memohon perlindungan kepada
Allah SWT dari keburukan makhluk terkutuk itu. Wallahu a‘lam.
Sumber: https://islam.nu.or.id/ramadhan/mengapa-masih-ada-maksiat-pada-bulan-ramadhan-ketika-setan-dibelenggu-IJiD4