Saat momen
Idul Fitri, seluruh umat Islam merayakan kemenangannya setelah satu bulan penuh
berperang melawan hawa nafsu. Perang, yang menurut Rasulullah, lebih berat
daripada melawan batalion musuh Allah yang kasat mata. Tapi, Ramadhan usai,
bukan berarti selesai sudah tugas kita sebagai seorang Muslim.
Ada hal
penting yang harus kita renungi bersama. Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya,
Ihya ‘Ulumiddin berpesan, “Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah dalam hati
antara rasa takut (khauf) dan harap (raja’). Karena seseorang tidak tahu,
apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau
sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat murka
dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.” (lihat
Ihya ‘Ulumiddin, cetakan al-Haramain, juz 1, hal. 236)
Rasa takut
(khauf) dan harap (raja’) bagaikan dua sayap seekor burung. Jika hanya satu
sayap saja, seekor burung tidak mungkin terbang dengan sempurna. Jika tidak
memiliki keduanya, sayap kanan dan sayap kiri, maka burung itu akan jatuh dan
tidak bisa terbang lagi.
Demikian juga
seorang Mukmin ketika telah melakukan ibadah. Usai ibadah itu dilaksanakan,
dalam hati harus ditanamkan rasa takut dan harap. Takut, jikalau ibadahnya
tidak diterima. Juga harus berharap agar ibadahnya diterima dan mendapat
balasan surga dari-Nya. Antara khauf dan raja’ harus imbang.
Jika rasa
khauf (takut) berlebih, akan terlalu takut terhadap dosa dan menganggap
kesalahan tidak bisa diampuni, sementara sejatinya Allah maha pemurah dan maha
pengampun. Sehingga bisa timbul rasa putus asa atas ampunan dan rahmat (kasih
sayang Allah).
Pun
sebaliknya, tidak boleh raja’ (berharap) berlebih, karena bisa berakibat
berharap berlebih akan diterimanya suatu amal perbuatan dan diampuninya dosa.
Sehingga dikhawatirkan akan meremehkan dosa itu sendiri.
Setelah satu
bulan berpuasa dengan segala amal ibadah di dalamnya, kita juga harus tanamkan
rasa takut dan harap. Tentu, selama satu bulan itu tidak sedikit kemaksiatan
yang telah kita lakukan. Kita harus takut; jangan-jangan puasa kita tidak
diterima.
Tapi, di sisi
lain juga harus diimbangi rasa harap; mengharapkan akan diterimanya segala amal
ibadah yang kita lakukan selama bulan puasa dan berharap diampuninya semua kesalahan
yang telah dilakukan. Gambaran khauf dan raja’ adalah sebagaimana hadis,
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di si Allah, niscaya tidak
ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir
itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang
berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.” (HR. Abu Hurairah)
Syekh Utsman
bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri dalam Durratun Nashihin menceritakan kisah
seorang laki-laki yang bernama Shalih bin Abdullah ketika bertemu dengan hari
raya Idul Fitri. Berikut kisahnya.
Saat Idul
Fitri tiba, Shalih bin Abdullah akan pergi ke mushola untuk melaksanakan
shalat. Usai shalat, Shalih langsung pulang ke rumahnya. Lalu ia kumpulkan
seluruh keluarganya. Di hadapan keluarganya itu, ia mengikat lehernya dengan rantai
besi dan menaburkan abu di kepala serta sekujur tubuh.
Kemudian ia
menangis dengan begitu keras. Melihat keganjilan itu, keluarganya heran dan
bertanya, “Wahai Shalih, bukankah ini hari raya, hari bersuka cita. Kenapa
engkau bersedih seperti ini?” Shalih menjawab, “Aku tahu ini adalah hari raya
Idul Fitri. Tapi, selama ini aku telah melaksanakan perintah-perintah Allah,
dan aku tidak tahu, apakah amalku diterima atau tidak?!”
Lalu Shalih
duduk di emperan mushola. Lagi-lagi, keganjilan Shalih itu memancing perhatian
warga. “Mengapa engkau tidak duduk di tengah mushola saja?” tanya warga. Shalih
menjawab, “Aku datang untuk meminta belas kasih (rahmat) Allah, maka di sini
lah tempat yang layak untuk seorang peminta.” (lihat Durratun Nashihin, hal
277)
Kisah Shalilh
di atas memiliki pesan moral yang sangat mendalam. Saat Idul Fitri tiba,
kebanyakan orang memaknai hari itu sebagai hari bersuka cita. Sampai kadang
terlalu larut dalam kesenangan dunia. Itulah mengapa pada malam Idul Fitri,
Rasulullah menganjurkan kita untuk menghidupkankannya dengan beribadah dan
memperbanyak mengingat Allah.
Rasulullah
saw pernah bersabda, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul
Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak
akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR. As-Syafi’i dan Ibn
Majah).