ANAK yatim yang ayahnya meninggalkan harta berhak mendapatkan perlindungan dari wali atas hartanya itu. Harta benda anak yatim tidak boleh dimakan dan tidak boleh disalahgunakan sehingga merugikannya. Ketika hartanya itu diserahkan, hendaknya anak yatim tersebut sudah balig atau sanggup menjaga dan mengolah hartanya (QS An-Nisa [4]: 3).
Allah Swt. berfirman: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka sesama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar," (QS An-Nisa [4]: 2).
Muhammad Mustafa Al-Maraghi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan memberikan harta kepada anak-anak yatim pada ayat tersebut adalah menyerahkan harta miliknya dan tidak memakannya secara batil.
Anak yatim juga berhak mendapatkan pendidikan dari yang dipercaya sebagai wali atau orang yang diberi wasiat. Pendidikan itu dilakukan sampai anak yatim mencapai usia balig, yakni sampai sanggup berdiri sendiri dan cerdas. Abu Dawud menceritakan tentang seorang sahabat yang memelihara anak yatim. Karena takut dengan sanksi yang akan diterima jika salah dalam mengelola harta anak yatim atau takut bercampur antara makananya dan makanan anak yatim, jika ia hendak makan, ia selalu memisahkan makanan dan minuman miliknya dari kepunyaan anak yatim yang dipeliharanya itu. Sampai jika makanan anak yatim itu bersisa, ia membiarkan makanan itu sampai busuk karena rasa takutnya yang berlebihan. Lalu, ia menghadap Rasulullah Saw. dan menanyakan masalah itu. Tidak lama kemudian, turunlah surah Al-Baqarah ayat 220. "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah, Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan," (QS Al-Baqarah [2]: 220). Para ulama mendasarkan ayat ini untuk memperbolehkan memakan harta anak yatim yang dipelihara olehnya asal dengan cara yang baik dan tidak berlebihan.
Pada suatu hari, datanglah seorang sahabat kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, aku ini orang miskin, tapi aku memelihara anak yatim dan hartanya, bolehkah aku makan dari harta anak yatim itu?" Rasulullah menjawab, "Makanlah dari harta anak yatim sekadar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan mubazir, dan jangan bercampur antara hartamu dan harta anak yatim," (HR Abu Daud, An-Nasal, Ahmad, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar bin Khaththab).
Dalam hubungan ini, Allah Swt. juga berfirman: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah hartanya kepada mereka. Dan, janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan jangan kamu tergesa-gesa (membelanjakan nya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa di antara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas atas persaksian itu)," (QS An-Nisa [4]: 6).
image : http://farm3.staticflickr.com/2457/4049390308_e2bfdba507_z.jpg