Oleh: Ustadz Abdullah Taslim, Lc, MA
Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengutamakan
sebagian waktu (jaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan
sebagian manusia di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat
lainnya.
Allah Subhanahu wa ta’la berfirman:
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya,
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS al-Qashash:68).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas,
beliau berkata: “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi
seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan
kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya),
baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”[1].
Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Subhanahu
wa ta’la utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya,
sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang
merupakan salah satu rukun Islam.
Sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala memuliakan
bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar
untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi
hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’la yang bertakwa untuk
berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya[2].
Bagaimana seorang muslim menyambut bulan Ramadhan?
Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya dilipatgandakan
amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung, di buka
pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3].
Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang
ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala dan ingin meraih ridha-Nya.
Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para
sahabat radhiallahu ‘anhum akan kedatangan bulan yang penuh
berkah ini[4].
Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya: “Telah datang bulan Ramadhan
yang penuh keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu
surga di buka pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan
dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih
baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan)
kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang
agung)”[5].
Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata:
“Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu
surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat
serta kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala ) tidak gembira
dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal
tidak gembira ketika para setan dibelenggu?”[6].
Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan
Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wa ta’la agar
mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan
nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Subhanahu
wa ta’la. Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala (selama) enam bulan agar Allah
mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya
(selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang
mereka (kerjakan)”[7].
Maka hendaknya keluarga muslim mengambil teladan dari para ulama
salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh
berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan
serta keridhaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, agar di akhirat
kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu
Allah Subhanahu wa ta’la dan mendapatkan ganjaran yang
sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah r bersabda: “Orang
yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika
berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”[8].
Tentu saja persiapan diri yang di maksud di sini bukanlah dengan
memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan
makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti
berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan
manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa ta’la dari pada
manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.
Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri
lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya
di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan
praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh
yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau
kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [9].
Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat,
tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali
sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”[10].
Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Terkadang orang yang berpuasa
tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”[11].
Meraih takwa dan kesucian jiwa dengan puasa Ramadhan
Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk
mencapai takwa kepada Allah ta’ala [12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa
dan kebersihan hati13. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi
keluarga muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah ‘azza wa
jalla.
Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS
al-Baqarah:183).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan
mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari
makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Subhanahu
wa ta’ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai)
kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori
hati) dan semua tingkah laku yang tercela”[14].
Lebih lanjut, syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan
unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:
– Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang
diharamkan Allah (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan
suami-istri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan
meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).
– Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk
(merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Subhanahu
wa ta’ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal
dia mampu (melakukannya), karena dia mengetahui Allah maha mengawasi
(perbuatan)nya.
– Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang
dilalui) setan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh
manusia di tempat mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah
kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.
– Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian
dari takwa.
– Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan
berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu
menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari
takwa[16].
Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan
membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya
sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa
adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim
menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Sesungguhnya (kedudukan sifat)
sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia)
pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”[17].
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan
puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran[18]. Oleh karena itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[19].
Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa
batas[20], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu
kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala
berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya
puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan)
baginya”[21].
Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas,
sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya orang-orang yang
bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS
az-Zumar:10).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa
dengan sifat sabar dalam ucapan beliau: “Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam
(melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang
diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak
sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya)
terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar
dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan
syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam
(menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang
yang berpuasa”22.
Penutup
Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga
bermanfaat bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan
mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat
menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam
perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan
bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang
disyariatkan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada
setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai
orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang
menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[23].
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Footnote:
1
Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 622).
2 Lihat kitab “al-‘Ibratu fi syahrish shaum” (hal. 5) tulisan guru kami yang
mulia, syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad – semoga Allah menjaga beliau
dalam kebaikan – .
3 Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR al-Bukhari (no. 3103) dan Muslim (no.
1079).
4 Lihat keterangan imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”
(hal. 174).
5 HR Ahmad (2/385), an-Nasa’i (no. 2106) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh
syaikh al-Albani dalam kitab “Tamaamul minnah” (hal. 395), karena dikuatkan
dengan riwayat-riwayat lain.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
7 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”
(hal. 174).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
9 Lihat kitab “Shifatu shalaatin Nabi r” (hal. 36) tulisan
syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
10 HR Ahmad (4/321), Abu Dawud (no. 796) dan Ibnu Hibban (no. 1889), dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban, al-‘Iraqi dan syaikh al-Albani dalam kitab “Shalaatut
taraawiih (hal. 119).
11 HR Ibnu Majah (no. 1690), Ahmad (2/373), Ibnu Khuzaimah (no. 1997) dan al-Hakim
(no. 1571) dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan syaikh
al-Albani.
12 Lihat kitab “Tafsiirul Qur’anil kariim” (2/317) tulisan syaikh Muhammad bin
Shaleh al-‘Utsaimin.
13 Lihat kitab “Manhajul Anbiya’ fii tazkiyatin nufuus” (hal. 19-20).
14 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/289).
15 Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1933) dan Muslim (no. 2175).
16 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 86).
17 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 97).
18 Lihat kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
19 Lihat “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2623).
20 Lihat kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
21 HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini yang terdapat
dalam “Shahih Muslim”.
22 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
23 HR at-Tirmidzi (no. 682), Ibnu Majah (no. 1642), Ibnu Khuzaimah (no. 1883)
dan Ibnu Hibban (no. 3435), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban
dan syaikh al-Albani.
Sumber
: https://konsultasisyariah.com/36361-ramadhan-bulan-kesabaran-kesucian-jiwa-dan-takwa.html