Oleh: Ustadz Abdullah
Taslim, MA
Tidak
terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan
keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang
yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Subhanahu
Wa Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa
yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Celakalah seorang hamba
yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan
dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala)”[1].
Salah
seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di
bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan
lainnya”[2].
Oleh
karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah
ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya,
sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar
Dia Subhanahu Wa Ta’ala mempertemukan kita dengan bulan
Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan
akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (selama) enam bulan agar
Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa
kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal
shaleh) yang mereka (kerjakan)”[3].
Lalu
muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri
kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri
kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?
Apakah
bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal
kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
Jawabannya
ada pada kisah berikut ini:
Imam
Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya)
rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka
adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah
kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang
rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”[4].
Demi
Allah, inilah hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sejati,
yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu
dan tempat tertentu.
Imam
asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan
Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan
tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya
beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”[5].
Maka
sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Subhanahu Wa
Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan
mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk
dalam firman-Nya:
“Hai
manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha
Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah
makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh
seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima
amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya
tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari
mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Subhanahu
Wa Ta’ala untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa
yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi
setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang
pertama (oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala), sebagaimana barangsiapa
yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk
(setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal
kebaikan tersebut”[6].
Oleh
karena itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyariatkan puasa
enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa
Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun
penuh, sebagaimana sabda Rasululah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya
dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan
pahala) seperti puasa setahun penuh”[7].
Di
samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh
dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah
orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah r bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan
(besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu
Allah”[8].
Inilah
bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai
Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah amal yang paling
terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit”[9].
Ummul
mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menetapinya”[10].
Inilah
makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal
kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita
sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal
kebaikannya atau malah sebaliknya.
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai
orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
______
Footnote:
1 HR Ahmad (2/254),
al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan
al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan
al-Albani.
2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).
3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal.
174).
4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”
(hal. 313).
5 Ibid.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).
7 HSR Muslim (no. 1164).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
10 HSR Muslim (no. 746).
Referensi: https://konsultasisyariah.com/36398-istiqamah-setelah-ramadhan.html