Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi sekadar keyakinan hampa, tapi sebuah keyakinan yang menghujam ke dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan tindak nyata.
Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shalih, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah Taala menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shalih dalam surat Al-'Ashr; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar tetap sabar.” (QS 103:1-3)
Ayat-ayat qur'aniyah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khithab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah Taala.
Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-An'am: 122)
Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel. Rasulullah saw menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman.
Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan puas dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.
Interaksi Sosial
Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada kontribusi sosial dan keharmonisan sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad saw mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda;“Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlaq yang baik.”
Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya kepekaan yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap lingkungan, baik keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita. Bagaimana Rasulullah saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mengajak pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwah seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terzhalimi dan pembangunan Ka'bah.
Oleh karenanya seorang mukmin harus terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang berhubungan dengan keluarga, pengajaran dan kemasyarakatan lainnya. Janganlah seseorang hanya sibuk dengan perbaikan dirinya dan mengabaikan keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-anaknya. Asyik dengan pekerjaan di luar, sementara anak asyik dengan narkoba.
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS 64:14-15) “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS 63:9)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS 66:6)
Kepekaan Sosial
Kapan pun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai peran sebagai khalifah. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfaat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori kaum yang beramal dan mendambakan identitas “mukminin yang sebenarnya”.
Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi seorang mukmin yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor amar ma'ruf nahi munkar. Dimensi ukhrawi yang mengharuskan dirinya menjalin ukhuwah islamiyah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fakir, miskin dan anak yatim piatu.
Rasulullah bersabda:“Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.” (HR Muslim)
“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” (Muttafaqun Alaih)
“Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang itu di surga seperti ini (Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah).” (HR Muslim)
Dan dimensi pendidikan yang mengharuskan seorang mukmin berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan kepada masyarakatnya. Sehingga masyarakat disekitarnya menikmati pencerahan jiwa dan bertambah keimanan. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dan keluarganya.
Allah berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104)
Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shalih, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah Taala menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shalih dalam surat Al-'Ashr; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar tetap sabar.” (QS 103:1-3)
Ayat-ayat qur'aniyah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khithab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah Taala.
Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-An'am: 122)
Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel. Rasulullah saw menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman.
Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan puas dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.
Interaksi Sosial
Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada kontribusi sosial dan keharmonisan sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad saw mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda;“Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlaq yang baik.”
Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya kepekaan yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap lingkungan, baik keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita. Bagaimana Rasulullah saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mengajak pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwah seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terzhalimi dan pembangunan Ka'bah.
Oleh karenanya seorang mukmin harus terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang berhubungan dengan keluarga, pengajaran dan kemasyarakatan lainnya. Janganlah seseorang hanya sibuk dengan perbaikan dirinya dan mengabaikan keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-anaknya. Asyik dengan pekerjaan di luar, sementara anak asyik dengan narkoba.
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS 64:14-15) “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS 63:9)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS 66:6)
Kepekaan Sosial
Kapan pun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai peran sebagai khalifah. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfaat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori kaum yang beramal dan mendambakan identitas “mukminin yang sebenarnya”.
Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi seorang mukmin yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor amar ma'ruf nahi munkar. Dimensi ukhrawi yang mengharuskan dirinya menjalin ukhuwah islamiyah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fakir, miskin dan anak yatim piatu.
Rasulullah bersabda:“Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.” (HR Muslim)
“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” (Muttafaqun Alaih)
“Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang itu di surga seperti ini (Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah).” (HR Muslim)
Dan dimensi pendidikan yang mengharuskan seorang mukmin berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan kepada masyarakatnya. Sehingga masyarakat disekitarnya menikmati pencerahan jiwa dan bertambah keimanan. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dan keluarganya.
Allah berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104)