Allah
telah menurunkan risalah terakhirnya berupa Al-Quran kepada rasul terakhir
pilihannya, Muhammad saw. Sebagai kitab penutup dan juga rasul penutup, maka
Allah memberikan nikmat yang tidak diberikan oleh-Nya kepada para rasul dan
umat-umat yang terdahulu, nikmat tersebut adalah risalah Islam yang lengkap dan
integral berupa Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.
Sebagai
risalah yang lengkap, berarti risalah Muhammadiyah mencakup semua lini
kehidupan manusia, tidak ada satu lini kehidupan pun yang luput dari
risalah ini. Maka dari itulah Allah menegaskan dalam firman-Nya:
“…Tidak
kami luputkan dalam Al-Quran sesuatu apa pun….” (Al-An’am: 38)
Dari ayat
tersebut maka kita akan jumpai dalam Al-Quran berbagai pembahasan mengenai
kehidupan manusia; hukum, sosial, budaya, politik, ekonomi, peradaban, dan yang
terpenting adalah pendidikan.
Pendidikan
merupakan satu dari pembahasan-pembahasan yang ada pada Al-Quran. Maka pas jika
ayat yang pertama kali Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw. Adalah perintah
untuk membaca. Di samping itu, dalam Al-Quran juga banyak sekali kisah tentang
para nabi yang mendidik kaumnya, juga para ayah mendidik anak-anaknya sebagaimana
Ibrahim mendidik Ismail, Ibrahim mendidik Ishaq, Ishaq mendidik Ya’kub, Ya’kub
mendidik kedua belas anaknya termasuk di antaranya Yusuf AS. Tak luput pula,
bagaimana Allah menerangkan tentang pendidikan yang diberikan oleh Maryam
kepada anaknya Isa as. Juga Hajar kepada anaknya Ismail as.
Dari
kisah-kisah yang ada pada Al-Quran tersebut, kita bisa mengambil sebuah hikmah,
ibrah, sekaligus metode dalam pendidikan untuk anak, keluarga, masyarakat,
bangsa, dan juga negara.
Pengertian
Pendidikan
Sebelum
membahas lebih lanjut, pengetahuan terhadap pengertian pendidikan merupakan hal
yang penting. Sebab jika terjadi perbedaan pengertian dalam hal pengertian
pendidikan, nantinya akan muncul kesalahan persepsi dan pemahaman.
Secara
bahasa pendidikan yang dalam bahasa Arab disebut “tarbiyah” memiliki
tiga asal makna. Makna pertama tarbiyah bermakna az-ziyadah dan an-namâ`
yang berarti bertambah atau tumbuh. Makna kedua tarbiyah adalah nasya`a
dan tara’ra’ah yang bermakna tumbuh dan berkembang. Dan makna ketiga,
tarbiyah bermakna aslaha yang berarti memperbaiki.
Sedangkan
secara umum pendidikan atau tarbiyah adalah sebuah amal yang memiliki tujuan
dan sebuah seni yang fleksibel dan selalu berkembang. Adapun tujuannya adalah
membentuk karakter kebaikan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.
Dengan
begitu maka pendidikan atau tarbiyah adalah menjaga supaya manusia tetap dalam
fitrahnya sebagaimana ia dilahirkan supaya tidak tersusupi oleh hawa nafsu yang
dihembuskan setan.
Tujuan
Pendidikan dalam Islam
Rasulullah
saw. bersabda bahwa “Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka
orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, atau Nasrani,
atau majusi. (HR. Bukhari)
Maka
untuk menjaga fitrah manusia tetap dalam tauhid dan karakter kebaikan maka
Allah menurunkan risalahnya berupa Al-Quran dan juga Sunnah Rasul-Nya sebagai
buku panduan untuk menjaga fitrah tersebut sekaligus mendidiknya dalam bingkai
keimanan dan ketaqwaan yang sempurna.
Jika
Al-Quran dan juga sunnah sudah dijadikan pedoman dalam mendidik, tidak
diragukan lagi hasil didikan tersebut akan menuai kesuksesan sebagaimana
kesuksesan Lukman dalam mendidik anak-anaknya yang secara gamblang Allah
tegaskan dalam surat-Nya, surat Lukman.
Ustadz
‘Atif as-Sayid dalam bukunya at-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa manhajuha
wa mualimuha menerangkan bahwa pendidikan dalam pandangan Islam adalah
pembentukan karakter sehingga menjadi insan yang sempurna dari segi jasad, ruh,
dan akhlaq berdasarkan apa yang menjadi misi Islam.
Singkatnya,
pendidikan dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai insan yang
bertakwa. Sebab takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk menghadapi hari esok.
Tanpa takwa manusia akan merasakan kesengsaraan yang amat pada hari mendatang.
Inilah
output sesungguhnya dari pendidikan dalam Islam. Takwa yang memiliki maka
berusaha untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan sesuai dengan kemampuan
hamba-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sekuat tenaga inilah tujuan utama.
Sebab, jika seseorang sudah memiliki sifat taqwa, berarti pendidikan
terhadapnya telah berhasil.
Tiga
Objek Pendidikan Dalam Al-Quran
Al-Quran
membagi objek pendidikan menjadi tiga objek. Yang pertama adalah objek
individual. Kedua adalah objek keluarga dan orang-orang dekat, dan ketiga
adalah objek masyarakat.
Objek
individual. Maksud dari objek individual adalah bahwa objek pendidikan
tersebut adalah dirinya sendiri. Yakni seseorang mendakwahi dirinya sendiri.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum Allah
menurunkan wahyu kepada beliau saw. Allah memberikan beliau semacam wahyu untuk
menyendiri di dalam gua Hira. Tak lain tujuannya adalah untuk mendakwahi diri
sendiri dengan mentadaburi alam dan melihat keadaan sekitar berupa masyarakat
Makah yang sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Objek
dakwah individual inilah yang Allah singgung dalam Al-Quran surat at-Tahrim
ayat keenam. Allah berfirman yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (At-Tahrim: 6)
Dalam
ayat yang lainnya, bahkan Allah memperingatkan orang yang gemar berdakwah
kepada orang lain, tapi dirinya sendiri tidak ia dakwahi, dalam artian dia
tidak melaksanakan apa yang ia sampaikan kepada orang lain. Allah berfirman
yang artinya:
“Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
(Ash-Shaf: 3)
Ayat
ketiga dari surat ash-shaf tersebut memberikan kita sinyal bahwa individu kita
perlu kita perbaiki, maka dari itulah objek pertama adalah individu bukan yang
lainnya. Di samping itu, ketika kita memberikan sebuah pengajaran kepada orang
lain, atau orang dekat semisal anak sendiri, namun ternyata apa yang kita
perintahkan kepada orang lain tersebut tidak kita kerjakan, kemudian apa yang
akan mereka katakan tentang diri kita? pastinya adalah cemoohan.
Selanjutnya
yang kedua adalah objek keluarga dan orang-orang yang dekat dengan kita. Ini
adalah sasaran kedua setelah individu. Sebagaimana firman Allah di atas, Allah
menyebutkan “Jagalah dirimu” setelah itu Allah melanjutkan “dan
keluargamu”. Ibarat penjagaan polisi dari terorisme, individu ada di ring
pertama dan keluarga ada di ring kedua.
Dakwa
seseorang kepada keluarga dekatnya dan juga kepada orang-orang yang hidup
bersamanya, mulai dari teman dan kolega, merupakan dakwah yang dilakukan oleh
para nabi termasuk Nabi Muhammad saw.
Nabi
Muhammad saw. ketika selesai mendapat perintah untuk berdakwah, beliau tidak
langsung menuju ke Ka’bah di mana Ka’bah adalah tempat berkumpulnya masyarakat
Makah waktu itu, tetapi beliau berdakwah kepada keluarganya terlebih dahulu.
Hal ini juga atas petunjuk dari Allah langsung sebagaimana firmannya:
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat.” (Asy-Syu’arâ’:
214)
Sebab
itulah mengapa orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan wanita adalah
Khadijah, siapa beliau? Istri Nabi. Dari golongan anak kecil Ali bin Abi
Thalib, siapa beliau? Sepupu sekaligus anak asuh Nabi. Dari kalangan orang
dewasa Abu Bakar, siapa beliau? kolega bisnis Nabi sekaligus sahabat karibnya.
Lihatlah,
orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah keluarga dan orang-orang dekat
beliau. Mengapa? karena objek tarbiyah beliau memang orang-orang terdekat pada
mulanya.
Kita juga
bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim mendidik Ismail. Dari hasil didikan beliau,
muncul sosok Ismail yang sangat taat dengan perintah Allah juga perintah
bapaknya, meskipun lehernya harus dipertaruhkan. Lihatlah juga bagaimana Nabi
Ya’kub mendidik Yusuf. Hasil didikan beliau memunculkan sosok Yusuf yang
pemurah, penyabar, dan pemaaf. Padahal jika mau, Yusuf bisa saja membalas
kelakuan buruk kakak-kakaknya ketika beliau menjadi menteri ekonomi di Mesir
kala musim paceklik datang.
Selanjutnya,
objek ketiga berupa masyarakat. Tentu Islam hadir tidak hanya untuk
menshalihkan individu tertentu dan atau keluarga tertentu, melainkan untuk
menshalihkan semua orang yang menginginkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Secara
tegas Allah memperingatkan kepada kita agar kita tidak tiga egois dengan
keadaan orang lain. Allah berfirman yang artinya:
“Dan
takutlah kalian terhadap fitnah yang tidak ditimpakan hanya untuk orang-orang
yang zhalim saja dan ketahuilah bahwasanya azab Allah amatlah keras.”
Ayat ini
memberikan indikasi bahwa kita jangan merasa aman ketika kita sudah shalih.
Padahal di samping kanan dan kiri kita masih banyak orang yang berbuat
kezhaliman. Maka dari sini kita paham bahwa objek ketiga dari pendidikan adalah
masyarakat umum.
Namun,
apakah seseorang harus shalih individunya dahulu sebelum mendidik keluarga dan
masyarakat? Tentu tidak. Yang diperlukan adalah sikap tawazun atau keseimbangan
antara menshalihkan diri sendiri dengan menshalihkan keluarga dan menshalihkan
masyarakat. Sebab itulah Rasulullah menyampaikan, “Sampaikanlah dariku meski
hanya satu ayat.” Artinya apa yang kita sampaikan adalah apa yang kita
ketahui.
Rasulullah
dalam mendidik masyarakat pun tidak menunggu keluarganya shalih semua. Kita
lihat paman beliau, Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil, keduanya adalah keluarga
dekat Nabi saw. namun mereka tetap ingkar dan Rasul pun tetap melanjutkan
tugasnya mendidik masyarakat Makah.
Prioritas
pendidikan dalam Al-Quran
Dalam
kajian fiqih kita akan menemukan apa yang oleh para ulama dinamakan dengan
fiqih urutan masalah atau fiqih prioritas. Fiqih prioritas adalah cabang ilmu
fiqih yang membahas amalan apa yang sebaiknya didahulukan atas amalan-amalan
lainnya. Fiqih prioritas ini membahas mana yang baik dan mana yang lebih baik.
Mana yang buruk dan mana yang lebih buruk. Dengan fiqih prioritas, umat muslim
akan dapat mengamalkan ajaran Islam dengan cermat dan efektif.
Begitu
pula dalam hal pendidikan. Ada pendidikan yang sedini mungkin harus diajarkan
dan ada pendidikan yang harus menunggu waktu-waktu tertentu untuk diajarkan.
Orang tua dan juga pendidik semisal guru, ustadz, dan pendidik lainnya, harus
memahami hal ini. Sehingga pendidikan yang diberikan lebih efektif dan mengena.
Banyak terjadi, karena kecakapan yang kurang dalam masalah prioritas, guru
mengajarkan hal-hal yang tidak penting dan meninggalkan hal-hal yang penting.
Atau juga mengajarkan hal yang penting namun meninggalkan hal yang lebih
penting.
Hal-Hal
yang Menjadi Prioritas Pengajaran
Yusuf
al-Qardhawi menyebutkan bahwa misi para nabi adalah mengajarkan tiga hal
penting. Ketiga hal ini harus diprioritaskan atas hal-hal yang lainnya dan
hendaknya ketiga hal tersebut adalah pelajaran pertama yang diterima oleh anak
didik. Ketiga hal tersebut merupakan intisari dari risalah para nabi. Ketiganya
adalah: dakwah tauhid, dakwah iman kepada hari akhir, dan dakwah menyeru
kebaikan.
Pertama, Tauhid. Inilah yang pertama
kali harus diajarkan kepada siapa pun. Termasuk anak-anak. Tauhid merupakan
kunci dari semua kunci. Puncak ilmu dari semua ilmu. Ibarat rumah, maka tauhid
adalah dasar bangunan. Jika dasar rapuh, rumah akan rapuh. Jika kuat, rumah
akan kuat.
Tauhid
adalah dakwah para nabi dan rasul. Semenjak Allah mengangkat Nuh alaihi
salam sebagai rasul sampai Allah mengutus Muhammad saw. sebagai penutup
nabi dan rasul, kesemuanya membawa satu risalah, yaitu risalah tauhid. Dalam
banyak ayat Allah menerangkan akan esensi dakwah tauhid para nabi dan rasul.
Dalam
surat Hud, Nuh as. menyeru kepada kaumnya “Agar kamu tidak menyembah selain
Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat
menyedihkan.” Begitu pula nabi-nabi setelahnya. Menyerukan hal yang sama
yakni tauhid. Sebagaimana ayat yang sering dijadikan Rasulullah hujjah ketika
beliau menyurati para penguasa Timur Tengah:
Katakanlah:
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali-Imran: 64)
Inilah
dakwah para rasul yang utama. Maka seyogianya, setiap pendidik muslim, yang
diajarkan kepada anak didiknya adalah ketauhidan. Sebab tauhid adalah kunci
dari surga. Siapa yang tidak mendapatkan tauhid, tidak akan pernah mencicipi
bau harum surga.
Kedua, Iman kepada hari akhir. Setalah
mengetahui hakikat tauhid, maka pelajaran kedua yang diprioritaskan atas yang
lainnya adalah keimanan kepada hari akhir. Mengapa demikian? sebab dengan
keimanan kepada hari akhir, seseorang akan mengetahui kenapa dia harus
dilahirkan ke dunia, dan kenapa diperintahkan ini dan itu di dunia.
Manusia
harus paham akan hari akhir. Mengimani bahwa setelah hari akhir ada kehidupan
yang lebih abadi dan lebih baik dari pada kehidupan di dunia. yang mana
kehidupan yang lebih baik tersebut tidak akan didapat kecuali dengan kebaikan
di alam dunia.
Dengan
kesadaran bahwa suatu saat dia akan mati, maka seseorang akan sadar bahwa hidup
aslinya bukan di dunia melainkan di akhirat. Dia juga akan sadar dengan
pendidikan para guru bahwa di akhirat hanya ada dua tempat; surga dan neraka.
Jika ia tidak di surga maka ia di neraka. Jika ia tidak di neraka berarti ia di
surga. Insan mana yang tidak menginginkan surga?
Dengan
pemahaman bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, dan kehidupan tersebut
lebih nikmat dari kenikmatan dunia dan lebih sengsara dari kesengsaraan dunia,
dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kenikmatan hari akhir.
Yang ketiga,
adalah pendidikan untuk beramal kebaikan. Baik dan berbuat baik adalah fitrah
manusia. Maka pendidikan berfungsi untuk menjaga kebaikan tersebut dan jangan
sampai ternodai oleh kesyirikan dan kezhaliman. Semua nabi dan semua rasul
dalam berbagai risalah langitnya telah memerintahkan para kaumnya untuk berbuat
baik. Misalnya kaum Madyan. Kaum Madyan adalah kaumnya Nabi Syu’aib. Nabi
Syu’aib memerintahkan kaumnya untuk tidak berlaku curang dalam timbangan dan
takaran. Nabi Luth memerintahkan kaumnya untuk tidak bersyahwat terhadap satu
jenis. Dan juga Nabi Muhammad yang dalam Al-Quran menganjurkan bahkan
memerintahkan kita semua untuk melakukan kebaikan dan berusaha sekuat tenaga
untuk menjauhi keburukan dan kezhaliman.
Tiga hal
tersebutlah yang harus diutamakan untuk diajarkan oleh seorang pendidik atau
murabbi sebelum mengajarkan hal-hal yang lainnya. Tidak akan ada manfaatnya
jika seorang pendidik mampu mendidik anaknya menjadi ahli kimia, ahli fisika,
dan lain-lain, namun dia gagal mengajarkan ketauhidan, akhirnya anaknya bermain
syirik. Dia juga gagal mengajarkan sopan santun, sehingga akhlak pergaulannya
dengan sesama sangat buruk. Semoga Allah mengaruniai kita kekuatan dalam
mendidik hawa nafsu kita dan anak-anak didik kita. Amin