Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 02 Februari 2013

Penyakit Itu Bernama Kebencian

Sebagai agama yang mengajarkan rahmatan lil alamin, Islam sangat menganjurkan bahkan mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk bersikap lapang dada tatkala mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan ideologinya. Hal ini penting, karenan mengingat, selam ini atau bahkan sejak beberapa ratus tahun yang lalu, berdasarkan penuturan sejarah yang perlu kita telusuri dan kaji lebih lanjut toleransi atau sikap menghargai perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah.

Islam, sebagai agama cinta damai, sangat mengecam tindakan anarkis dan represif yang akan menyebabkan ketimpangan social serta mencoreng atau merusak citra positif Islam. Tindakan agitasi dan provokatif ini telah banyak menimbulkan kegelisahan dan keresahan baik tingkat individu ataupun kelompok. Hal yang tampak nyata dari perbuatan represif ini adalah tulisan ataupun ucapan yang tidak ada acuan dan rujukan sedikitpun dari sumber aslinya. Sehingga pembaca awam- seperti saya – kadang mudah terpancing untuk melakukan tindakan serupa atas dalih agama (baca; perbaikan).

Islam – sekali lagi – mendidik serta menagajarkan kepada setiap pemeluknya untuk bersikap terbuka dan mau berlapang dada terhadap setiap perbedaan faham, madzhab, organisasi dan semacamnya selagi perbedaan tersebut tidak menimbulkan kekerasan dan kekasaran yang merimbas kepada ketidak-stabilan masyarakat. Perbedaan – dalam beberapa hal – merupakan ketetapan Allah azza wa jalla, sunnatullah, yang tidak mungkin dirubah sekalipun kita tidak menghendakinya. Di samping itu juga terdapat perbedaan yang memang ‘direncanakan’ oleh Allah untuk berbeda pendapat dan masih mungkin untuk disatukan dalam bingkai ukhuwah islamiyah.

Tidak jarang kita jumpai dan temui di sekitar kita – hanya karena perbedaan – bukan pembedaan, yang tidak sejalan dengan manhaj / metode yang kita anut, langsung kita nyatakan sesat, kafir, musyrik dan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh insan beriman. Tidak cukup dengan dengan itu, tindakan brutal, agitasai dan konfrontasi tak dapat dihindari demi ‘menyelamatkan’ agama suci ini. Parahnya perbuatan itu kadang – bahkan sering – tanpa mendatangkan atau mengundag pihak yang diadili karena telah terbawa emosi yang meluap-luap. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pembakaran rumah, mushalla dan bahkan menjarah setiap harta benda yang masih tersisa di dalamnya. 

Belajar kepada Musa & Harun
Sebagian kita berlaku demikian mengklaim karena al-Qur’an memerintahkan untuk ber-amar ma’ruf wan nahyu ani al-munkar. Sementara ayat dan surat yang lain seolah dikesampingkan. Tabyyun, mencari kejelasan, tak lagi diperhatikan karena untuk menyeterilkan agama ini dari kemusyrikan, kesesatan, kekafiran. Tindakan demikian malah bukan mencerminkan orang yang berpegang teguh kepada al-Qu’an dan as-Sunnah. Bahakn perbuatan demikian telah menginjak-injak nila-nilai kelembutan, keramahan, kesopanan yang sangat ditekankan oleh kedua pedoman diatas.

Bukti bahwa al-Qur’an mengajarkan berbuat lembut, sopan, santun namun tegas dan jelas adalah firman Allah jaala wa ‘ala ketika Dia memerintahkan kepada nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Fir’aun yang terkenal dengan kekejaman dan kebengisannya. Allah berfirman Pergilah kamu berdua (Musa-Harun) kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thahaa: 43-44). Ayat ini mempunyai kandungan yang sangat dalam dan tajam. Ha ini bisa dibuktikan kajian yang mendalam. Bukankah telah masyhur bahwa manusia yang paling sempurna kebengisan, kekejaman dan kesombongannya adalah Fir’aun laknatullahi alaihi? Bengis karena ketika melihat orang lak-laki yang tidak mau mengakui akan ketuhanannya ia bunuh. Kejam, karenan siksaan yang akan diterima oleh orang yang tidak mendukungnya akan sangat mengerikan. Dan sombong karena hanya ia yang telah mengaku sebagai tuhan.

Meskipun Allah azza wa jalla telah memberitahukan kepada nabi Musa dan Harun bahwa Fir’aun telah melampaui batas, Dia Yang Mahalembut dan Mahasantun tetap menghendaki agar kedua utusan-Nya itu menyampaikan risalah-Nya (mengingatkannya) dengan kata-kata dan kalimat yang lembut. Karena jika utusan-Nya tersebut berlaku kasar terhadap fir’aun yang terkanal dengan kekerasan dan kekasarannya, maka pasti ia (Fir’aun) akan semakin menentang dan tambah congkak. Meskipun kita tahu bahwa apa yang terjadi kemudian Fir’aun tetap pada pendiriannya (mengaku tuhan).
Cerita di atas juga selaras dengan perintah Allah al-A’dzam al-Akbar yang lain di yang berbunyi “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (an-Nahl: 125). Jika ayat sebelumnya mendidikan dan mengajrkan kita untuk berkata lembut, sopan dan santun, maka ayat ini justeru lebih spesifik lagi. Di dalam ayat suci ini Allah al-Karim menyuruh kita menyampaikan risalah-Nya dengan hikmah. Lalu apa hikmah itu?

Sebagian ahli tafsir berpandapat bahwa ia (hikmah) adalah teladan yang baik, perkaan yang lembut dan tindakan yang santun. Ada pula yang meafsirkannya dengan perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Sebagaian yang lain menjabarkan makna hikmah dengan perumpamaan-perumpamaan yang membangkitkan seseorang untuk berbuat baik. Perbedaan penafsiran tentang makna hikmah tersebut tidaklah penting untuk kita perdebatkan. Yang jelas esensi dari beberapa penafsiran tersebut bahwa dalam menyampaikan risalah Allah al-Halim dituntut adanya kelemah lembutan, kesopanan dan kesantunan tanpa melenyapkan atau menghilangkan nilai-nilai kebenaran dari amanah tersebut.

Di samping itu ayat tersebut juga menekankan bahwa jika terdapat perbedaan pendapat atau pemahaman dalam sauatu masalah, cara penyelesaiananya adalah dengan berdialog. Kalimat dan bantahlah mereka dengan cara yang baik merupakan perintah yang meniscayakan proses dialog dalam suatu masalah. Lebih dari itu dialog ini tidak beloh mengedepankan kekuatan otot seraya mata mlotot tanpa memberikan dalil yang qath’I, pasti dan sharih, jelas. Tidak ada gunanya jika hanya mengatakan ini tidak boleh itu tidak boleh tanpa memberikan alsan yang rasional dan logis. Pun demikian, nilai-nilai epistemologis dan ontologis serta aksiologis tidak boleh dikesampingkan hanya karena takut kehilangan pendukung dan pengawal.

Selanjutnya, di ayat dan surat yang lain Rabb al-Alamin berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Meskipun ayat di atas seruannya tertuju kepada laki-laki dan juga perempuan, namun ayat ini mempunyai makna yang sangat luas tak terbatas. Maksudnya adalah jika kita sebagai orang yang mengaku beriman sangat dilarang untuk menyalahkan orang yang tidak sefaham, sealiran, seaqidah dan sependapat dengan kita. Karena bisa jadi ia atau mereka lebih baik dari kita – selama orang atau kelompok tersebut bersaksi bahwa Allah jaal wa ala adal Rabb al-alamin dan Muhammad adalah sayyidul mursalin. Adapun makna jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Sementara panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.

Iqra’ (Bacalah!!!)
Namun demikian, sepertinya ketiga ayat di atas – di samping ayat-ayat yang lain – telah difahami secara leterlek dan hanya diambil kulit luarnya saja tanpa ingin membuka inti sarinya. Kita seolah merasa benar sementara yang lain salah. Padahal ketika menghakimi, kita tidak berusaha mendatangkan orang yang kita adili. Serta merta kita bersorak-sorai menang dalam menentukan benar salah meskipun tanpa menghadirkan orang yang dianggap bermasalah. Sebenarnay semua itu merupakan bentuk kepandiran, kepengecutan dan keculasan yang di tambah lagi dengan kebencian belebihan tanpa ingin membuka lembar-lembar al-Qur’an yang dimuliayakan.

Buktinya masih banyak di antara kita ketika mendengar kata ini dan itu langsung mengecapnya atau men-stigma dengan kafir, musyrik, fasik, sesat dan sebagainya karena tidak sejalan dengan pemikiran kita. Seolah kebenaran itu hanya dan pasti ada di kita. Bukan yang lain. Dan secara tidak langsung kita mengatakan “Jika kalian mau masuk surge, maka mau-tidak mau harus bersama kami. Karena Tuhan telah menyediakan surga sepererti pesanan kami.” Terlebih lagi sikap yang kurang baik ini diperparah dengan kengganan kita membuka-buka lembaran buku yang masih tersimpan rapi di balik lemari. Padahal tujuan Allah al-Alim menurunkan iqra’ agar kita mau membuka, membaca, mengkaji dan meneliti dari sekian ilmu yang tak bertepi untuk kemudian kita amalkan setiap hari. Lalu masihkan kita menyimpan penyakit yang bernama kebencian itu??? Wallahu a’lam




Kategori Tulisan

Anak (21) Ceramah (25) Doaku (3) Gallery (68) Hadits (20) Herbal (3) Hikmah (258) I'tikaf (5) Idul Fitri (27) Inspirasi (149) Jualan (3) Kesehatan (43) Keuangan (12) Kisahnyata (43) Kultum (147) Lailatul Qadar (2) Lain-lain (49) management (4) Nisa' (1) ODOJ (2) Progress (54) prowakaf (2) Puasa (182) Quran (17) Qurban (40) Ramadhan (322) Renungan (17) Rumahkreatif (6) Rumahpintar (8) Rumahtahfidz (18) Rumahyatim (6) Sedekah (47) Share (104) Syawal (5) Tanya jawab (2) Tarawih (4) Tarbiyah (166) Umroh (19) Wakaf (8) Yatim (7) Zakat (22)
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari Blog Miftah madiun langsung ke email anda!
 

Info Kesehatan

More on this category »

Tarbiyah dan Pendidikan

More on this category »

Inspirasi Hidup

More on this category »

Lain-lain

Image by ageecomputer.com