Sebagai agama yang mengajarkan rahmatan lil alamin,
Islam sangat menganjurkan bahkan mengajarkan kepada setiap pemeluknya
untuk bersikap lapang dada tatkala mendapatkan hal yang tidak sesuai
dengan ideologinya. Hal ini penting, karenan mengingat, selam ini atau
bahkan sejak beberapa ratus tahun yang lalu, berdasarkan penuturan
sejarah yang perlu kita telusuri dan kaji lebih lanjut toleransi atau
sikap menghargai perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah.
Islam,
sebagai agama cinta damai, sangat mengecam tindakan anarkis dan
represif yang akan menyebabkan ketimpangan social serta mencoreng atau
merusak citra positif Islam. Tindakan agitasi dan provokatif ini telah
banyak menimbulkan kegelisahan dan keresahan baik tingkat individu
ataupun kelompok. Hal yang tampak nyata dari perbuatan represif ini
adalah tulisan ataupun ucapan yang tidak ada acuan dan rujukan
sedikitpun dari sumber aslinya. Sehingga pembaca awam- seperti saya –
kadang mudah terpancing untuk melakukan tindakan serupa atas dalih agama
(baca; perbaikan).
Islam
– sekali lagi – mendidik serta menagajarkan kepada setiap pemeluknya
untuk bersikap terbuka dan mau berlapang dada terhadap setiap perbedaan
faham, madzhab, organisasi dan semacamnya selagi perbedaan tersebut
tidak menimbulkan kekerasan dan kekasaran yang merimbas kepada
ketidak-stabilan masyarakat. Perbedaan – dalam beberapa hal – merupakan
ketetapan Allah azza wa jalla, sunnatullah, yang tidak mungkin
dirubah sekalipun kita tidak menghendakinya. Di samping itu juga
terdapat perbedaan yang memang ‘direncanakan’ oleh Allah untuk berbeda
pendapat dan masih mungkin untuk disatukan dalam bingkai ukhuwah islamiyah.
Tidak jarang kita jumpai dan temui di sekitar kita – hanya karena perbedaan – bukan pembedaan, yang tidak sejalan dengan manhaj /
metode yang kita anut, langsung kita nyatakan sesat, kafir, musyrik dan
kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh insan beriman. Tidak
cukup dengan dengan itu, tindakan brutal, agitasai dan konfrontasi tak
dapat dihindari demi ‘menyelamatkan’ agama suci ini. Parahnya perbuatan
itu kadang – bahkan sering – tanpa mendatangkan atau mengundag pihak
yang diadili karena telah terbawa emosi yang meluap-luap. Sehingga yang
terjadi kemudian adalah pembakaran rumah, mushalla dan bahkan menjarah
setiap harta benda yang masih tersisa di dalamnya.
Belajar kepada Musa & Harun
Sebagian kita berlaku demikian mengklaim karena al-Qur’an memerintahkan untuk ber-amar ma’ruf wan nahyu ani al-munkar. Sementara ayat dan surat yang lain seolah dikesampingkan. Tabyyun,
mencari kejelasan, tak lagi diperhatikan karena untuk menyeterilkan
agama ini dari kemusyrikan, kesesatan, kekafiran. Tindakan demikian
malah bukan mencerminkan orang yang berpegang teguh kepada al-Qu’an dan
as-Sunnah. Bahakn perbuatan demikian telah menginjak-injak nila-nilai
kelembutan, keramahan, kesopanan yang sangat ditekankan oleh kedua
pedoman diatas.
Bukti bahwa al-Qur’an mengajarkan berbuat lembut, sopan, santun namun tegas dan jelas adalah firman Allah jaala wa ‘ala
ketika Dia memerintahkan kepada nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan
risalah-Nya kepada Fir’aun yang terkenal dengan kekejaman dan
kebengisannya. Allah berfirman Pergilah kamu berdua (Musa-Harun)
kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thahaa: 43-44). Ayat ini
mempunyai kandungan yang sangat dalam dan tajam. Ha ini bisa dibuktikan
kajian yang mendalam. Bukankah telah masyhur bahwa manusia yang paling
sempurna kebengisan, kekejaman dan kesombongannya adalah Fir’aun laknatullahi alaihi?
Bengis karena ketika melihat orang lak-laki yang tidak mau mengakui
akan ketuhanannya ia bunuh. Kejam, karenan siksaan yang akan diterima
oleh orang yang tidak mendukungnya akan sangat mengerikan. Dan sombong
karena hanya ia yang telah mengaku sebagai tuhan.
Meskipun Allah azza wa jalla
telah memberitahukan kepada nabi Musa dan Harun bahwa Fir’aun telah
melampaui batas, Dia Yang Mahalembut dan Mahasantun tetap menghendaki
agar kedua utusan-Nya itu menyampaikan risalah-Nya (mengingatkannya)
dengan kata-kata dan kalimat yang lembut. Karena jika utusan-Nya
tersebut berlaku kasar terhadap fir’aun yang terkanal dengan kekerasan
dan kekasarannya, maka pasti ia (Fir’aun) akan semakin menentang dan
tambah congkak. Meskipun kita tahu bahwa apa yang terjadi kemudian
Fir’aun tetap pada pendiriannya (mengaku tuhan).
Cerita di atas juga selaras dengan perintah Allah al-A’dzam al-Akbar yang lain di yang berbunyi “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
(an-Nahl: 125). Jika ayat sebelumnya mendidikan dan mengajrkan kita
untuk berkata lembut, sopan dan santun, maka ayat ini justeru lebih
spesifik lagi. Di dalam ayat suci ini Allah al-Karim menyuruh kita menyampaikan risalah-Nya dengan hikmah. Lalu apa hikmah itu?
Sebagian
ahli tafsir berpandapat bahwa ia (hikmah) adalah teladan yang baik,
perkaan yang lembut dan tindakan yang santun. Ada pula yang
meafsirkannya dengan perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Sebagaian yang lain
menjabarkan makna hikmah dengan perumpamaan-perumpamaan yang
membangkitkan seseorang untuk berbuat baik. Perbedaan penafsiran tentang
makna hikmah tersebut tidaklah penting untuk kita perdebatkan. Yang
jelas esensi dari beberapa penafsiran tersebut bahwa dalam menyampaikan
risalah Allah al-Halim dituntut adanya kelemah
lembutan, kesopanan dan kesantunan tanpa melenyapkan atau menghilangkan
nilai-nilai kebenaran dari amanah tersebut.
Di
samping itu ayat tersebut juga menekankan bahwa jika terdapat perbedaan
pendapat atau pemahaman dalam sauatu masalah, cara penyelesaiananya
adalah dengan berdialog. Kalimat dan bantahlah mereka dengan cara yang baik
merupakan perintah yang meniscayakan proses dialog dalam suatu masalah.
Lebih dari itu dialog ini tidak beloh mengedepankan kekuatan otot
seraya mata mlotot tanpa memberikan dalil yang qath’I, pasti dan sharih,
jelas. Tidak ada gunanya jika hanya mengatakan ini tidak boleh itu
tidak boleh tanpa memberikan alsan yang rasional dan logis. Pun
demikian, nilai-nilai epistemologis dan ontologis serta aksiologis tidak
boleh dikesampingkan hanya karena takut kehilangan pendukung dan
pengawal.
Selanjutnya, di ayat dan surat yang lain Rabb al-Alamin berfirman “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Meskipun
ayat di atas seruannya tertuju kepada laki-laki dan juga perempuan,
namun ayat ini mempunyai makna yang sangat luas tak terbatas. Maksudnya
adalah jika kita sebagai orang yang mengaku beriman sangat dilarang
untuk menyalahkan orang yang tidak sefaham, sealiran, seaqidah dan
sependapat dengan kita. Karena bisa jadi ia atau mereka lebih baik dari
kita – selama orang atau kelompok tersebut bersaksi bahwa Allah jaal wa
ala adal Rabb al-alamin dan Muhammad adalah sayyidul mursalin. Adapun makna jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Sementara panggilan yang buruk
ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai
fasik, Hai kafir dan sebagainya.
Iqra’ (Bacalah!!!)
Namun
demikian, sepertinya ketiga ayat di atas – di samping ayat-ayat yang
lain – telah difahami secara leterlek dan hanya diambil kulit luarnya
saja tanpa ingin membuka inti sarinya. Kita seolah merasa benar
sementara yang lain salah. Padahal ketika menghakimi, kita tidak
berusaha mendatangkan orang yang kita adili. Serta merta kita
bersorak-sorai menang dalam menentukan benar salah meskipun tanpa
menghadirkan orang yang dianggap bermasalah. Sebenarnay semua itu
merupakan bentuk kepandiran, kepengecutan dan keculasan yang di tambah
lagi dengan kebencian belebihan tanpa ingin membuka lembar-lembar
al-Qur’an yang dimuliayakan.
Buktinya
masih banyak di antara kita ketika mendengar kata ini dan itu langsung
mengecapnya atau men-stigma dengan kafir, musyrik, fasik, sesat dan
sebagainya karena tidak sejalan dengan pemikiran kita. Seolah kebenaran
itu hanya dan pasti ada di kita. Bukan yang lain. Dan secara tidak
langsung kita mengatakan “Jika kalian mau masuk surge, maka mau-tidak
mau harus bersama kami. Karena Tuhan telah menyediakan surga sepererti
pesanan kami.” Terlebih lagi sikap yang kurang baik ini diperparah
dengan kengganan kita membuka-buka lembaran buku yang masih tersimpan
rapi di balik lemari. Padahal tujuan Allah al-Alim menurunkan iqra’ agar
kita mau membuka, membaca, mengkaji dan meneliti dari sekian ilmu yang
tak bertepi untuk kemudian kita amalkan setiap hari. Lalu masihkan kita
menyimpan penyakit yang bernama kebencian itu??? Wallahu a’lam